INSAN TAQWA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,INSAN TAQWA ,ADALAH MANUSIA YANG SELALU MELAKSANAKAN AJARAN ALLAH DAN ROSULNYA,PENGUMUMAN BAGI SIAPA SAJA YANG KESULITAN MENGHITUNG HARTA WARIS,TLP.081310999109/081284172971/0215977184 DENGAN BAPAK WAHDAN.SAG

Jumat, 24 Desember 2010

SOSIALISME BORJUIS DAN PROLETAR


Sosialismeborjuis kecil danproletar

Dari bermacam doktrin sosialis, Marxisme-lah yang saat ini paling dominan di Eropa. Perjuangan untuk mencapai masyarakat sosialis hampir sepenuhnya dipahami oleh Marxisme sebagai perjuangan kelas buruh di bawah pimpinan partai-partai sosialis demokrat. Mendominasinya sosialisme proletariat berdasar pada ajaran Marxisme tidak dicapai seketika, tetapi semata setelah terjadi perjuangan panjang menentang bermacam doktrin usang, sosialisme borjuis kecil, anarkisme dan lain-lain. Kurang lebih 30 tahun yang lalu Marxisme tidak dominan, sekalipun di Jerman. Pandangan yang berlaku di negara tersebut bersifat transisi, bercampur baur dengan ekletis, terletak diantara dua arus besar borjuis kecil dan sosialisme proletariat. Doktrin-doktrin yang paling menyebar dikalangan buruh maju di negara-negara Romawi, Perancis, Spanyol dan Belgia adalah Proudhonisme, Blanquisme[1] dan anarkisme yang nyata-nyata mengekspresikan cara pandang borjuis kecil, bukan proletariat.

Apa yang menyebabkan cepat dan tuntasnya kemenangan Marxisme dalam dekade terakhir ini? Ketepatan pandangan Marxis dalam banyak hal telah dibuktikan oleh semua perkembangan masyarakat kontemporer baik ekonomi maupun politik, dan oleh seluruh pengadas. Kemunduran borjuis kecil cepat atau lambat tak pelak mengakibatkan kepunahan segala macam prasangka borjuis kecil. Sementara itu tumbuhnya kapitalisme dan kian dalamnya perjuangan kelas dalam masyarakat kapitalis jadi agitasi terbaik bagi gagasan sosialisme proletar.
Keterbelakangan Rusia itulah pada dasarnya yang bisa menjelaskan tetap kokohnya bermacam doktrin sosialis usang di sana. Seluruh sejarah aliran pemikiran revolusioner Rusia sepanjang perempat terakhir abad 19 adalah sejarah perjuangan Marxisme melawan sosialisme borjuis kecil Narodnik.[2] Meskipun kemajuan pesat dan keberhasilan luar biasa gerakan kelas pekerja Rusia pun sudah berhasil membuahkan kemenangan bagi Marxisme di Rusia tapi berkembangnya sebuah gerakan petani yang jelas revolusioner-khususnya revolusi petani terkenal di Ukraina tahun 1902[1]- di satu sisi malah membangkitkan lagi Narodnisme kuno. Teori-teori Narodnik yang kuno dengan diwarnai oleh oportunisme Eropa yang populer masa itu (Revisionisme, Bernteinsime[2] adn kritisisme atas Marx), menyusun seluruh persediaan ideologis asli golongan yang umum disebut Sosialis-Revolusioner.[3] Itulah sebabnya mengapa masalah kaum petani menonjol dalam pertentangan Marxis melawan Narodnik sejati maupun golongan sosialis-revolusioner.
Untuk satu hal tertentu, Narodnisme adalah paham yang melawan satu doktrin yang integral dan konsisten. Narodnisme menolak anggapan adanya dominasi kapitalisme di Rusia; menentang peran buruh pabrik sebagai pemimpin buruh pabrik sebagai pemimpin garis depan perjuangan kaum proletar; menolak pentingnya sebuah revolusi politik dan kebebasan politik borjuis; ia menyerukan perlu segera dilaksanakannya sebuah revolusi sosialis yang berangkat dari komune petani berikut bentuk-bentuk pertanian kecil-nya. Memang semua yang masih bertahan dalam teori integral ini sekarang hanyalah serpihan-serpihan saja.
Tapi untuk memahami kontroversi yang berlangsung saat ini secara pandai dan menjaga supaya kontroversi itu tidak yang berlangsung saat ini secara pandai dan menjaga supaya kontroversi itu tidak melorot menjadi sekedar perang mulut, orang semestinya ingat "akar" Narodnik yang paling dasar dan umum yang sekaligus merupakan akar kesalahan Sosialis-Revolusioner kita.
Kaum Narodnik beranggapan bahwa kaum Muzhik adalah manusia Rusia masa depan. Pandangan ini tak pelak berkembang karena keyakinan mereka pada masa depan kapitalisme. Sedangkan kaum Marxis beranggapan bahwa buruh adalah manusia masa depan, dan perkembangan kapitalisme Rusia baik di bidang pertanian maupun industri makin menegaskan pandangan mereka. Gerakan kelas pekerja di Rusia telah berhasil memperoleh pengakuan bagi keberadaannya sendiri. Tetapi bagi gerakan petani, masih ada jurang pemisah antara Narodisme dan Marxisme pada saat ini yang terungkap dalam penafsiran mereka yang berbeda atas gerakan ini. Bagi kaum Narodnik, gerakan petani tersebut dengan sendirinya membuktikan kekeliruan Marxisme. Ini adalah gerakan yang bekerja untuk suatu revolusi sosialis yang langsung; gerakan ini tidak mengakui kebebasan politik borjuis; gerakan yang berangkat dari produksi skala kecil dan bukan produksi berskala besar. Singkatnya, bagi kaum Narodnik, gerakan petani lah yang benar-benar sosialis sejati dan segera merupakan gerakan sosialis. Kesetiaan Narodnik pada komune petani dan bentuk tertentu anarkisme Narodnik sepenuhnya bisa menjelaskan mengapa kesimpulan demikian yang selalu terumuskan.
Bagi kaum Marxis, gerakan petani adalah gerakan demokratik dan bukan gerakan sosialis. Di Rusia, seperti juga kasus di negara-negara lain, gerakan ini pasti sejalan dengan revolusi demokratik, revolusi yang borjuis kandungan sosial ekonominya. Gerakan yang sampai titik akhirnya memang tidak ditujukan untuk menggoyang pondasi tatanan borjuis, menentang prodksi komoditi atau melawan kapital. Sebaliknya gerakan itu ditujukan untuk menentang hubungan pra-kapitalis, hubungan perhambaan kuno di wilayah pedesaan dan melawan tuan-tanahisme, yang menjadi kunci seluruh kelangsungan hidup pemilikan hamba-hamba. Konsekuensinya kemenangan penuh gerakan petani ini tak akan menghapus kapitalisme; malahan sebaliknya, gerakan ini akan menciptakan pondasi lebih luas lagi bagi perkembangan kapitalisme, akan mempercepat serta memperdalam perkembangan kapitalis sejati. Kemenangan penuh pemberontakan kaum petani hanya bisa menciptakan benteng bagi republik demokrasi borjuis, yang didalamnya tumbuh untuk pertama kalinya suatu perjuangan proletariat melawan kehendak borjuasi dalam bentuk yang paling murni.
Lantas, ada dua pandangan bertentangan yang harus dimengerti dengan jelas oleh siapapun yang ingin mempelajari jurang perbedaan prinsipil antara Sosialis-Revolusioner dan Sosialis-Demokrat. Merujuk ke salah satu pandangan, gerakan petani adalah gerakan sosialis, sedangkan merujuk ke pandangan lain gerakan petani adalah gerakan borjuis-demokratik. Dengan ini orang bisa lihat betapa gobloknya ungkapan orang-orang Sosialis-Revolusioner kita ketika mereka mengulang beratus kali (misalnya, dalam Revolutsionnaya Rossiya, no. 75) bahwa Marxis ortodoks telah mengabaikan masalah petani. Hanya ada satu cara untuk memberantas kebodohan berbahaya macam ini dan itu bisa diakukan dengan mengulang ABC; menyusun pandangan-pandangan Narodnik yang secara konsisten sudah kuno itu, dan beratus bahkan beribu kali menekan bahwa perbedaan yang sesungguhnya di antara kita itu tidak terletak pada soal berhasrat atau tidak berhasrat pada masalah petani, juga tidak terletak pada mengakui atau tidak mengakui masalah petani, tapi terletak pada perbedaan penilaian kita atas gerakan petani dan masalah petani saat ini di Rusia. Dia yang berkata bahwa Marxis mengabaikan masalah petani di Rusia pertama, adalah seorang pengabai absolut. Sebab seluruh tulisan prinsipil Marcis Rusia mulai dari tulisan Plekhanov Our Differences (muncul kurang lebih 20 tahun yang lalu), telah mencurahkan tenaga untuk menjelaskan kesalahan pandangan-pandangan kaum Narodnik mengenai masalah petani Rusia. Kedua, dia yang menyatakan bahwa Marcis mangabaikan masalah petani jelas menunjukkan hasratnya untuk menghindari keharusan memberi penilaian yang lengkap atas perbedaan prinsipil yang sesungguhnya, memberi jawaban atas pertanyaan apakah gerakan petani sekarang ini adalah gerakan borjuis atau tidak, apakah gerakan itu secara obyektif diarahkan untuk menghancurkan kelangsungan hidup penghambaan atau tidak.
Kaum Sosialis-Revolusioner tidak pernah memberikan, dan tidak selalu dapat memberikan satu jawaban jelas dan tepat pada masalah itu karena mereka menggelepar tidak berdaya di antara pandangan kuno Narodnik dan pandangan Marxis saat ini mengenai masalah petani di Rusia. Kaum Marxis menyatakan bahwa kaum Sosialis-Revolusioner mewakili pendirian kaum borjuis kecil (mereka adalah ideolog kaum borjuis kecil) dengan alasan yang kuat bahwa mereka tidak dapat membersihkan diri dari ilusi-ilusi kaum borjuis kecil dan bayangan Narodnik dalam menilai gerakan petani.
Itulah sebabnya mengapa kita mengulang ABC sekali lagi. Untuk apakah perjuangan kaum petani di Rusia saat ini? Untuk tanah dan kebebasan. Arti penting apa yang bakal dimiliki oleh seluruh kemenangan gerakan ini? Setelah meraih kemerdekaan, gerakan tersebut akan menghapuskan kekuasaan para tuan tanah dan birokrasi dalam adiminstrasi negara. Setelah berhasil menjaga tanah, gerakan itu akan memberikan tanah-tanah tuan tanah kepada para petani. Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah tuan tanah tersebut juga berarti penghapusan produksi komoditi? Tidak, tidak akan!! Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah tuan tanah tersebut mengganti bentuk pertanian individual dengan bentuk rumah tangga petani atas dasar, tanah komunal, atau tanah yang "disosialkan"? Tidak, tidak akan!! Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah tuan tanah menjembatani jurang dalam yang memisahkan petani kaya, yang memiliki sekian kuda dan sapi, dari pertanian-cangkulan, buruh harian, misalnya: jurang pemisah antara borjuis petani dengan proletar pedesaan? Tidak, tidak akan! Sebaliknya, makin tuntas sosial-estate (Landlord) yang paling tinggi itu dienyahkan dan dilenyapkan maka akan makin dalamlah perbedaan kelas antara borjuis dan proletariat. Apakah yang secara obyektif bakal punya arti dengan adanya kemenangan penuh pemberontakan petani? Kemenangan tersebut akan menghilangkan seluruh kelangsungan hidup perhambaan, tetapi sama sekali tidak menghancurkan sistem ekonomi borjuis atau menghancurkan kapitalisme atau menghancurkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas -- ke dalam golongan kaya dan miskin, borjuis dan proletar. Mengapa gerakan petani saat ini adalah gerakan borjuis-demokratik? Karena setelah menghancurkan kekuasaan birokrasi dan tuan-tuan tanah, gerakan itu akan menyusun sebuah sistem masyarakat demokratik, tapi bagaimanapun juga, itu dilakukan tanpa mengubah pondasi borjuis dari masyarakat demokratis tersebut, tanpa menghapuskan kekuasaan kapital. Bagaimanakah seharusnya buruh berkesadaran kelas, kaum sosialis, memandang gerakan petani saat ini? Ia harus mendukung gerakan ini, menolong petani dalam kondisi yang paling bertenaga, menolong mereka menyingkirkan tuntas segala kekuasaan birokrasi dan kekuasaan tuan-tuan tanah. Bagaimanapun juga, pada saat yang sama mereka harus menjelaskan kepada para petani bahwa, tidak cukup cuma merobohkan kekuasaan birokrasi dan para tuan tanah. Ketika mereka merobohkan kekuasaan birokrasi dan para tuan tanah tersebut, saat itu juga mereka harus bersiap untuk menghapuskan kekuasaan kapital, kekuasaan borjuis, dan untuk maksud ini maka suatu doktrin yang sepenuhnya berwatak sosialis, Marcist misalnya, harus segera disebarkan, proletariat pedesaan harus dipersatukan, digalang bersama dan diorganisir untuk perjuangan melawan borjuis petani dan semua borjuis Rusia. Dapatkah seorang buruh yang berkesadaran kelas melupakan perjuangan demokratik demi perjuangan sosalis, atau melupakan perjuangan sosialis demi perjuangan demokratik? Tidak, seorang buruh yang berkesadaran kelas akan menyebut dirinya seorang sosial demokrat karena ia memahami kaitan dua perjuangan tersebut. Dia tahu bahwa, tidak ada jalan lain yang bisa menyelamatkan jalan menuju sosialisme selain melalui demokrasi, kebebasan politik. Karenanya ia berjuang mencapai demokrasi sepenuhnya dan sekonsisten mungkin untuk mencapai tujuan puncak --- sosialisme. Mengapa kondisi untuk perjuangan demokratik tidak sama dengan kondisi untuk perjuangan sosialis? Karena di masing-masing sekutu yang berbeda. Perjuangan demokratik dilakukan oleh buruh bersama dengan satu bagian dari borjuis, khususnya borjuis kecil. Di lain pihak, perjuangan sosialis dilakukan oleh buruh melawan seluruh borjuasi. Perjuangan melawan birokrat dan para tuan tanah dapat dan harus dilakukan bersama-sama dengan seluruh petani, bahkan bersama petani berkecukupan dan petani menengah. Di lain pihak, cuma berjuang bersama proletariat pedesaan sajalah, maka perjuangan melawan borjuis, dan karenanya juga berarti melawan petani berkecukupan, bisa diakukan dengan tepat.
Bila kita selalu mengingat semua kebenaran Marxis yang paling mula ini, tindakan yang selalu lebih suka dihindari oleh kaum Sosialis-Revolusioner, maka kita tak akan punya banyak kesulitan dalam menilai keberatan kaum Sosialis-Revolusioner "yang terakhir" atas Marxisme, seperti berikut ini:
"Mengapa itu perlu?" seruan dalam Revolutsionnaya Rossiya (no. 75), "Pertama mendukung kaum petani secara umum dalam melawan para tuan tanah, dan kemudian (misalnya: pada saat yang sama) mendukung kaum proletar menentang seluruh kaum petani, yang sekaligus sebagai ganti dari tindakan mendukung kaum proletar menentang para tuan tanah; dan apa yang Marxisme harus lakukan setelah itu, hanya surga yang tahu."
Ini adalah titik pandang anarkisme paling primitif, kekanak-kanakan dan naif. Selama berabad-abad dan bahkan ribuan tahun, manusia bermimpi melenyapkan "sekaligus" segala bentuk dan jenis penghisapan. Mimpi ini tetap sekedar mimpi sampai jutaan orang di seluruh dunia yang dihisap mulai bersatu untuk melakukan perjuangan konsisten, kokoh dan komprehensif merubah masyarakat kapitalis dalam arahan evolusi masyarakat tersebut yang terjadi secara alamiah. Mimpi-mimpi sosialis beralih menjadi perjuangan sosialis berjuta manusia hanya ketika sosialisme ilmiah Marx berhasil mengkaitkan desakan untuk berubah dengan perjuangan dari suatu kelas tertentu. Di luar perjuangan kelas, sosialisme hanyalah ungkapan kosong dan mimpi naif. Bagaimanapun, di Rusia dua bentuk perjuangan yang berbeda dari dua kekuatan sosial yang berbeda tengah berlangsung di belakang penglihatan kita. Kaum proletar sedang berjuang melawan borjuasi, dimanapun hubungan-hubungan produksi kapitalis itu ada (dan hubungan produksi kapitalis itu ada -- ini patut diketahui kaum revolusioner kita -- bahkan dalam komune petani, misalnya: di tanah-tanah yang menurut titik pandang mereka 100% merupakan tanah yang "disosialkan"). Sedang sebagai bagian dari strata pemilik tanah kecil, borjuis kecil, kaum petani berjuang melawan seluruh kelangsungan hidup perhambaan, melawan birokrat dan para tuan tanah. Hanya mereka yang benar-benar mengabaikan ekonomi politik dan sejarah revolusi-revolusi dunia yang bisa keliru melihat bahwa ini adalah dua perang sosial yang terpisah dan berbeda. Menutup mata terhadap perbedaan perang-perang tersebut dengan cara menuntut suatu gerakan yang "sekaligus" sama saja menyembunyikan kepala di bawah ketiak orang dan menolak membuat analisis realita.
Kaum sosial revolusioner yang telah berintegras lagi pada pandangan kuno narodnik, bahkan ternyata telah merupakan ajaran-ajaran Narodnik itu sendiri. Seperti itu-itu juga ditulis dalam Revolutsionnaya Rossiya dalam artikel yang sama: "Dengan menolong kaum petani untuk mengenyahkan tuan tanah, tuan Lenin tanpa sadar sudah membantu berdirinya ekonomi borjuis kecil di atas reruntuhan pertanian kepitalis yang kurang lebih sudah berkembang. Tidakkah ini sebuah "langah mundur" dari titik pandang Marxisme ortodoks?"
Memalukan, saudara-saudara!! Mengapa anda lupa dengan tulisan orang-orang anda sendiri, Mr. V.V.! Periksa tulisannya, Destiny of Capitalism, juga Sketches, tulisan tuan Nikolai [1], dan sumber-sumber lain tentang bijaknya anda. Anda kemudian akan mengingat kembali bahwa pertanian tuan tanah di Rusia itu memadukan dalam dirinya gambaran baik kapitalisme dan pemilikan hamba-hamba. Kemudian anda akan menemukan bahwa, terdapat suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada sewa buruh, suatu sistem yang langsung mempertahankan sistem kerja tanpa upah. Jika lebih jauh lagi anda mencari pemecahan kesulitan tersebut pada buku macam Marxis ortodoks, seperti volume ke tiga Kapital-nya Marx[2], anda akan temui bahwa dimanapun tak ada sistem kerja tanpa upah yang berkembang, dan dimanapun sistem itu tak bisa berkembang serta kemudian berubah menjadi pertanian kapitalis kecuali melalui perantaraan pertanian petani borjuis kecil. Dalam usaha anda menghalau Marxisme, anda malah mundur ke metode yang terlalu primitif, metode yang sudah demikian lampau digunakan; pada Marxisme secara langsung anda memberikan satu konsepsi pertanian kapitalis skala besar yang amat dangkal dan aneh melebihi konsep pertanian skala besar dengan dasar sistem kerja tanpa upah. Anda berpendapat bahwa karena hasil pertanian di tanah milik tuan tanah itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian petani maka perampasan tanah milik tuan tanah adalah suatu langkah yang terbelakang. Argumentasi ini layak dinyatakan oleh seorang anak sekolah dasar kelas 4. Sekedar pertimbangan, saudara-saudara: dengan memisahkan hasil-rendah tanah petani dari hasil-tinggi perkebunan tuan-tuan tanah ketika perbudakan dihapuskan, tidakkah itu merupakan "langkah mundur"?
Sistem ekonomi tuan tanah di Rusia saat ini merupakan perpaduan antara ciri-ciri kapitalisme dan pemilikan-perhambaan. Secara obyektif, saat ini perjuangan kaum petani melawan para tuan tanah adalah perjuangan melawan kelangsungan hidup perhambaan. Tapi mencoba menghitung seluruh kasus individual, mempertimbangkan setiap kasusnya dan menentukan secara tepat dengan ukuran skala seorang ahli obat, untuk menemukan kapan berakhirnya masa pemilikan-perhambaan dan kapitalisme dimulai, itu berarti mencoba menganggap marxis sama dengan sifat teliti dan cermat. Kita tidak bisa menghitung bagian apa dari harga bahan-bahan yang dibeli dari sebuah toko kecil, yang mewakili nilai lebih dan bagian apa dari harga itu yang mewakili penipuan atas kerja buruh, dan sebagainya. Apakah itu berarti kita harus membuang teori nilai kerja, saudara-saudara?
Ekonomi tuan tanah kontemporer memadukan gambaran kapitalisme dan perhambaan. Tetapi dari kenyataan tersebut hanya ilmuwan saja yang bisa berkesimpulan bahwa inilah tugas kita untuk mempertimbangkan, menghitung dan memaparkan tiap menit gambaran dalam katagori sosial ini dan itu. Oleh karenanya hanya kaum utopialah yang dapat berkesimpulan bahwa, "tidak ada kebutuhan" bagi kita untuk melukiskan perbedaan di antara dua perang sosial yang berbeda. Sehingga sebenarnya, satu-satunya kesimpulan sesungguhnya yang muncul adalah bahwa baik dalam program maupun taktik, kita harus memadukan perjuangan proletariat yang sejati melawan kapitalisme dengan perjuangan demokrasi secara umum (dan petani secara umum) melawan penghambaan.
Makin jelas gambaran kapitalis pada ekonomi tuan tanah semifeodal saat ini, maka makin mendesak keharusan untuk mengorganisir proletariat pedesaan secara terpisah, karena ini akan lebih cepat menolong kapitalis sejati atau proletariat sejati, pihak yang berantagonisme ini menegaskan posisi mereka dimanapun perampasan tanah terjadi. Makin jelas gambaran kapitalis dalam ekonomi tuan tanah, makin cepat perebutan yang demokratik memberi dorongan pada perjuangan yang sesungguhnya untuk sosialisme -- dan konsekuensinya, makin bahayanya membangun cita-cita palsu revolusi demokratik melalui pemakaian slogan "sosialisasi". Ini adalah kesimpulan yang ditarik dari kenyataan bahwa ekonomi tuan tanah adalah percampuran antara kapitalisme dan hubungan-hubungan pemilikan-perhambaan.
Jadi kita harus menggabungkan perjuangan proletar yang sejati dengan perjuangan petani pada umumnya, tetapi tidak mencampuradukan keduanya. Kita harus mendukung perjuangan demokratik dan perjuangan petani secara umum, tetapi tidak menenggelamkan diri dalam perjuangan yang tak berwatak kelas itu; kita tidak pernah boleh mencita-citakan perjuangan itu dengan slogan-slogan palsu seperti "sosialisasi", atau melupakan kebutuhan untuk mengorganisir kaum proletariat urban dan pedesaan dalam sebuah partai kelas yang sepenuhnya mandiri dari Sosial-Demokrasi. Sambil memberikan dukungan sepenuhnya para demokratisme yang paling kokoh, partai tersebut tidak akan membolehkan dirinya dialihkan dari jalan revolusioner oleh mimpi-mimpi reaksioner dan usaha coba-coba melakukan "persamaan" dalam sistem produksi komoditi. Perjuangan kaum petani melawan para tuan tanah saat ini merupakan sebuah perjuangan revolusioner; perampasan tanah-tanah milik para tuan tanah pada tahap sekarang dari suatu evolusi ekonomi dan politik adalah revolusioner dalam setiap seginya dan kita mendukung serta menjaga tindakan Revolusioner-Demokratik ini. Tapi menyebut tindakan ini adalah "sosialisasi", dan menipu dirinya maupun rakyat dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya "persamaan" dalam pola penguasaan tanah di bawah sistem produksi komoditi, merupakan utopia kaum borjuis kecil yang reaksioner, pandangan yang kita letakkan pada kaum Sosialis-Rekasioner
Proletary No. 24, Collected Works, Vol. 9
7 November (25 Oktober) 1905 Hal. 438-446.
CATATAN
[1] Proudhonisme adalah sebuah aliran yang namanya berasal dari nama Pierre Joseph Proudhon (1809-1865), seorang sosialis borjuis kecil dan anarkis Perancis. Meskipun tajam mengkritik masyarakat kapitalis, Proudhon gagal memahami bahwa satu-satunya jalan untuk mengakhiri kemiskinan, ketidaksamaan, penghisapan dan kebusukan-kebusukan hubungan kapitalis lainnya adalah dengan menghapuskan hubungan itu. Blanquisme adalah sebuah trend dalam gerakan sosialis Perancis yang diwakili oleh tokoh revolusioner terkemuka dan eksponen komunisme utopia: Louise Auguste Blanqui (1805-1881). Menurut Lenin, kaum Blanquis "mengharapkan umat manusia akan dibebaskan dari perbudakan upah, tidak melalui perjuangan kelas tetapi melalui suatu persekongkolan yang ditumbuhkan oleh sekelompok kecil intelektual." (V.I. Lenin, Collected Works, vol. 10, 392).
[2] Narodisme adalah sebuah trend borjuis kecil dalam gerakan revolusioner Rusia tahun 1860 an dan 1870 an.
[1] Suatu referensi pada aksi-aksi revolusioner kaum petani gubernia Poltava dan Kharkov di wilayah Ukraina (Rusia Kecil) akhir bulan Maret dan awal April 1902. Revolusi-revolusi itu dipercepat oleh kondisi petani yang sangat berat dan diperburuk oleh kegagalan panen dan kelaparan. Kaum petani menyerang tanah-tanah milik tuan-tuan tanah, merampas makanan dan makanan ternak serta menuntut redistribusi tanah. Gerakan ini dipadamkan dengan kekerasan.
[2] Bernsteinesme adalah trend oportunis dalam gerakan Sosial Demokrat internasional menjelang akhir abad 19. Paham tersebut mengambil nama dari seorang revisionis, Eduard Bernstein (1850-1932), pemimpin sayap kanan ekstrim partai Sosialis-Demokrat Jerman dan Internasional kedua. Bernstein menentang perjuangan revolusioner oleh kelas buruh dan diktator proletariat, menyerukan kolaborasi antara golongan proletar dan borjuis dan menggaungkan slogan: "Gerakan adalah segalanya, tujuan akhir bukan apa-apa", yang berarti mengganti perjuangan revolusioner untuk sosialisme dengan perjuangan untuk reformasi dalam kerangka negara borjuis.
[3] Sosialis-Revolusioner (S.R.S) adalah sebuah partai borjuis kecil di Rusia yang terbentuk akhir tahun 1901 dan awal tahun 1902. Organ-organ resminya adalah koran Revolutsionnaya Rossiya (Revolusi Rusia) (1900-1903) dan majalah Vetsnik Russkoi Revolutsii (Majalah Revolusi Rusia) (1901-1905).
[1] V.V. adalah nama samaran V.P. Vorontsov, penulis buku Destiny of Capitalism in Russia. Nikolai adalah nama samaran N. Danielson, penulis buku Sketches on Our Post-Reform Socialist Economy. Voronstsov dan Danielson adalah idolog Narodisme Liberal di tahun 1880-an dan tahun 1890-an.
[2] Lihat Karl Marx, Capital, vol III, bab. XVLII (Munculnya sewa tanah kapitalis).
ERICH FROMM
1900 - 1980
Dr. C. George Boeree

Biography
Erich Fromm was born in 1900 in Frankfurt, Germany. His father was a business man and, according to Erich, rather moody. His mother was frequently depressed. In other words, like quite a few of the people we've looked at, his childhood wasn't very happy.
Like Jung, Erich came from a very religious family, in his case orthodox Jews. Fromm himself later became what he called an atheistic mystic.
In his autobiography, Beyond the Chains of Illusion, Fromm talks about two events in his early adolescence that started him along his path. The first involved a friend of the family's:
Maybe she was 25 years of age; she was beautiful, attractive, and in addition a painter, the first painter I ever knew. I remember having heard that she had been engaged but after some time had broken the engagement; I remember that she was almost invariably in the company of her widowed father. As I remember him, he was an old, uninteresting, and rather unattractive man, or so I thought (maybe my judgment was somewhat biased by jealousy). Then one day I heard the shocking news: her father had died, and immediately afterwards, she had killed herself and left a will which stipulated that she wanted to be buried with her father. (p. 4)
As you can imagine, this news hit the 12 year old Erich hard, and he found himself asking what many of us might ask: why? Later, he began finding some answers -- partial ones, admittedly -- in Freud.
The second event was even larger: World War I. At the tender age of 14, he saw the extremes that nationalism could go to. All around him, he heard the message: We (Germans, or more precisely, Christian Germans) are great; They (the English and their allies) are cheap mercenaries. The hatred, the "war hysteria," frightened him, as well it should.
So again he wanted to understand something irrational -- the irrationality of mass behavior -- and he found some answers, this time in the writings of Karl Marx.
To finish Fromm's story, he received his PhD from Heidelberg in 1922 and began a career as a psychotherapist. He moved to the U.S. in 1934 -- a popular time for leaving Germany! -- and settled in New York City, where he met many of the other great refugee thinkers that gathered there, including Karen Horney, with whom he had an affair.
Toward the end of his career, he moved to Mexico City to teach. He had done considerable research into the relationship between economic class and personality types there. He died in 1980 in Switzerland.

Theory
As his biography suggests, Fromm's theory is a rather unique blend of Freud and Marx. Freud, of course, emphasized the unconscious, biological drives, repression, and so on. In other words, Freud postulated that our characters were determined by biology. Marx, on the other hand, saw people as determined by their society, and most especially by their economic systems.
He added to this mix of two deterministic systems something quite foreign to them: The idea of freedom. He allows people to transcend the determinisms that Freud and Marx attribute to them. In fact, Fromm makes freedom the central characteristic of human nature!
There are, Fromm points out, examples where determinism alone operates. A good example of nearly pure biological determinism, ala Freud, is animals (at least simple ones). Animals don't worry about freedom -- their instincts take care of everything. Woodchucks, for example, don't need career counseling to decide what they are going to be when they grow up: They are going to be woodchucks!
A good example of socioeconomic determinism, ala Marx, is the traditional society of the Middle Ages. Just like woodchucks, few people in the Middle Ages needed career counseling: They had fate, the Great Chain of Being, to tell them what to do. Basically, if your father was a peasant, you'd be a peasant. If your father was a king, that's what you'd become. And if you were a woman, well, there was only one role for women.
Today, we might look at life in the Middle Ages, or life as an animal, and cringe. But the fact is that the lack of freedom represented by biological or social determinism is easy. Your life has structure, meaning, there are no doubts, no cause for soul-searching, you fit in and never suffered an identity crisis.
Historically speaking, this simple, if hard, life began to get shaken up with the Renaissance. In the Renaissance, people started to see humanity as the center of the universe, instead of God. In other words, we didn't just look to the church (and other traditional establishments) for the path we were to take. Then came the Reformation, which introduced the idea of each of us being individually responsible for our own soul's salvation. And then came democratic revolutions such as the American and the French revolutions. Now all of a sudden we were supposed to govern ourselves! And then came the industrial revolution, and instead of tilling the soil or making things with our hands, we had to sell our labor in exchange for money. All of a sudden, we became employees and consumers! Then came socialist revolutions such as the Russian and the Chinese, which introduced the idea of participatory economics. You were no longer responsible only for your own well-being, but for fellow workers as well!
So, over a mere 500 years, the idea of the individual, with individual thoughts, feelings, moral conscience, freedom, and responsibility, came into being. but with individuality came isolation, alienation, and bewilderment. Freedom is a difficult thing to have, and when we can we tend to flee from it.
Fromm describes three ways in which we escape from freedom:
1. Authoritarianism. We seek to avoid freedom by fusing ourselves with others, by becoming a part of an authoritarian system like the society of the Middle Ages. There are two ways to approach this. One is to submit to the power of others, becoming passive and compliant. The other is to become an authority yourself, a person who applies structure to others. Either way, you escape your separate identity.
Fromm referred to the extreme version of authoritarianism as masochism and sadism, and points out that both feel compelled to play their separate roles, so that even the sadist, with all his apparent power over the masochist, is not free to choose his actions. But milder versions of authoritarianism are everywhere. In many classes, for example, there is an implicit contract between students and professors: Students demand structure, and the professor sticks to his notes. It seems innocuous and even natural, but this way the students avoid taking any responsibility for their learning, and the professor can avoid taking on the real issues of his field.
2. Destructiveness. Authoritarians respond to a painful existence by, in a sense, eliminating themselves: If there is no me, how can anything hurt me? But others respond to pain by striking out against the world: If I destroy the world, how can it hurt me? It is this escape from freedom that accounts for much of the indiscriminate nastiness of life -- brutality, vandalism, humiliation, vandalism, crime, terrorism....
Fromm adds that, if a person's desire to destroy is blocked by circumstances, he or she may redirect it inward. The most obvious kind of self-destructiveness is, of course, suicide. But we can also include many illnesses, drug addiction, alcoholism, even the joys of passive entertainment. He turns Freud's death instinct upside down: Self-destructiveness is frustrated destructiveness, not the other way around.
3. Automaton conformity. Authoritarians escape by hiding within an authoritarian hierarchy. But our society emphasizes equality! There is less hierarchy to hide in (though plenty remains for anyone who wants it, and some who don't). When we need to hide, we hide in our mass culture instead. When I get dressed in the morning, there are so many decisions! But I only need to look at what you are wearing, and my frustrations disappear. Or I can look at the television, which, like a horoscope, will tell me quickly and effectively what to do. If I look like, talk like, think like, feel like... everyone else in my society, then I disappear into the crowd, and I don't need to acknowledge my freedom or take responsibility. It is the horizontal counterpart to authoritarianism.
The person who uses automaton conformity is like a social chameleon: He takes on the coloring of his surroundings. Since he looks like a million other people, he no longer feels alone. He isn't alone, perhaps, but he's not himself either. The automaton conformist experiences a split between his genuine feelings and the colors he shows the world, very much along the lines of Horney's theory.
In fact, since humanity's "true nature" is freedom, any of these escapes from freedom alienates us from ourselves. Here's what Fromm had to say:
Man is born as a freak of nature, being within nature and yet transcending it. He has to find principles of action and decision making which replace the principles of instincts. he has to have a frame of orientation which permits him to organize a consistent picture of the world as a condition for consistent actions. He has to fight not only against the dangers of dying, starving, and being hurt, but also against another anger which is specifically human: that of becoming insane. In other words, he has to protect himself not only against the danger of losing his life but also against the danger of losing his mind. (Fromm, 1968, p. 61)
I should add here that freedom is in fact a complex idea, and that Fromm is talking about "true" personal freedom, rather than just political freedom (often called liberty):  Most of us, whether they are free or not, tend to like the idea of political freedom, because it means that we can do what we want.  A good example is the sexual sadist (or masochist) who has a psychological problem that drives his behavior.  He is not free in the personal sense, but he will welcome the politically free society that says that what consenting adults do among themselves is not the state's business!  Another example involves most of us today:  We may well fight for freedom (of the political sort), and yet when we have it, we tend to be conformist and often rather irresponsible.  We have the vote, but we fail to use it!  Fromm is very much for political freedom -- but he is especially eager that we make use of that freedom and take the responsibility that goes with it.
Families
Which of the escapes from freedom you tend to use has a great deal to do with what kind of family you grew up in. Fromm outlines two kinds of unproductive families.
1. Symbiotic families. Symbiosis is the relationship two organisms have who cannot live without each other. In a symbiotic family, some members of the family are "swallowed up" by other members, so that they do not fully develop personalities of their own. The more obvious example is the case where the parent "swallows" the child, so that the child's personality is merely a reflection of the parent's wishes. In many traditional societies, this is the case with many children, especially girls.
The other example is the case where the child "swallows" the parent. In this case, the child dominates or manipulates the parent, who exists essentially to serve the child. If this sounds odd, let me assure you it is common, especially in traditional societies, especially in the relationship between a boy and his mother. Within the context of the particular culture, it is even necessary: How else does a boy learn the art of authority he will need to survive as an adult?
In reality, nearly everyone in a traditional society learns both how to dominate and how to be submissive, since nearly everyone has someone above them and below them in the social hierarchy. Obviously, the authoritarian escape from freedom is built-in to such a society. But note that, for all that it may offend our modern standards of equality, this is the way people lived for thousands of years. It is a very stable social system, it allows for a great deal of love and friendship, and billions of people live in it still.
2. Withdrawing families. In fact, the main alternative is most notable for its cool indifference, if not cold hatefulness. Although withdrawal as a family style has always been around, it has come to dominate some societies only in the last few hundred years, that is, since the bourgeoisie -- the merchant class -- arrive on the scene in force.
The "cold" version is the older of the two, found in northern Europe and parts of Asia, and wherever merchants are a formidable class. Parents are very demanding of their children, who are expected to live up to high, well-defined standards. Punishment is not a matter of a slap upside the head in full anger and in the middle of dinner; it is instead a formal affair, a full-fledged ritual, possibly involving cutting switches and meeting in the woodshed. Punishment is cold-blooded, done "for your own good." Alternatively, a culture may use guilt and withdrawal of affection as punishment. Either way, children in these cultures become rather strongly driven to succeed in whatever their culture defines as success.
This puritanical style of family encourages the destructive escape from freedom, which is internalized until circumstances (such as war) allow its release. I might add that this kind of family more immediately encourages perfectionism -- living by the rules -- which is also a way of avoiding freedom that Fromm does not discuss. When the rules are more important than people, destructiveness is inevitable.
The second withdrawing kind of family is the modern family, found in the most advanced parts of the world, most notably the USA. Changes in attitudes about child rearing have lead many people to shudder at the use of physical punishment and guilt in raising children. The newer idea is to raise your children as your equals. A father should be a boy's best buddy; a mother should be a daughter's soul mate. But, in the process of controlling their emotions, the parents become coolly indifferent. They are, in fact, no longer really parents, just cohabitants with their children. The children, now without any real adult guidance, turn to their peers and to the media for their values. This is the modern, shallow, television family!
The escape from freedom is particularly obvious here: It is automaton conformity. Although this is still very much a minority family in the world (except, of course, on TV!), this is the one Fromm worries about the most. It seems to portent the future.
What makes up a good, healthy, productive family? Fromm suggests it is a family where parents take the responsibility to teach their children reason in an atmosphere of love. Growing up in this sort of family, children learn to acknowledge their freedom and to take responsibility for themselves, and ultimately for society as a whole.
The social unconscious
But our families mostly just reflect our society and culture. Fromm emphasizes that we soak up our society with our mother's milk. It is so close to us that we usually forget that our society is just one of an infinite number of ways of dealing with the issues of life. We often think that our way of doing things is the only way, the natural way. We have learned so well that it has all become unconscious -- the social unconscious, to be precise. So, many times we believe that we are acting according to our own free will, but we are only following orders we are so used to we no longer notice them.
Fromm believes that our social unconscious is best understood by examining our economic systems. In fact, he defines, and even names, five personality types, which he calls orientations, in economic terms!  If you like, you can take a personality test made up of lists of adjectives Fromm used to describe his orientations.  Click here to see it!
1. The receptive orientation. These are people who expect to get what they need. if they don't get it immediately, they wait for it. They believe that all goods and satisfactions come from outside themselves. This type is most common among peasant populations. It is also found in cultures that have particularly abundant natural resources, so that one need not work hard for one's sustenance (although nature may also suddenly withdraw its bounty!). it is also found at the very bottom of any society: Slaves, serfs, welfare families, migrant workers... all are at the mercy of others.
This orientation is associated with symbiotic families, especially where children are "swallowed" by parents, and with the masochistic (passive) form of authoritarianism. It is similar to Freud's oral passive, Adler's leaning-getting, and Horney's compliant personality. In its extreme form, it can be characterized by adjectives such as submissive and wishful. In a more moderate form, adjectives such as accepting and optimistic are more descriptive.
2. The exploitative orientation. These people expect to have to take what they need. In fact, things increase in value to the extent that they are taken from others: Wealth is preferably stolen, ideas plagiarized, love achieved by coercion. This type is prevalent among history's aristocracies, and in the upper classes of colonial empires. Think of the English in India for example: Their position was based entirely on their power to take from the indigenous population. Among their characteristic qualities is the ability to be comfortable ordering others around! We can also see it in pastoral barbarians and populations who rely on raiding (such as the Vikings).
The exploitative orientation is associated with the "swallowing" side of the symbiotic family, and with the masochistic style of authoritarianism. They are Freud's oral aggressive, Adler's ruling-dominant, and Horney's aggressive types. In extremes, they are aggressive, conceited, and seducing. Mixed with healthier qualities, they are assertive, proud, captivating.
3. The hoarding orientation. hoarding people expect to keep. They see the world as possessions and potential possessions. Even loved ones are things to possess, to keep, or to buy. Fromm, drawing on Karl Marx, relates this type to the bourgeoisie, the merchant middle class, as well as richer peasants and crafts people. He associates it particularly with the Protestant work ethic and such groups as our own Puritans.
Hoarding is associated with the cold form of withdrawing family, and with destructiveness. I might add that there is a clear connection with perfectionism as well. Freud would call it the anal retentive type, Adler (to some extent) the avoiding type, and Horney (a little more clearly) the withdrawing type. In its pure form, it means you are stubborn, stingy, and unimaginative. If you are a milder version of hoarding, you might be steadfast, economical, and practical.
4. The marketing orientation. The marketing orientation expects to sell. Success is a matter of how well I can sell myself, package myself, advertise myself. My family, my schooling, my jobs, my clothes -- all are an advertisement, and must be "right." Even love is thought of as a transaction. Only the marketing orientation thinks up the marriage contract, wherein we agree that I shall provide such and such, and you in return shall provide this and that. If one of us fails to hold up our end of the arrangement, the marriage is null and void -- no hard feelings (perhaps we can still be best of friends!) This, according to Fromm, is the orientation of the modern industrial society. This is our orientation!
This modern type comes out of the cool withdrawing family, and tend to use automaton conformity as its escape from freedom. Adler and Horney don't have an equivalent, but Freud might: This is at least half of the vague phallic personality, the type that lives life as flirtation. In extreme, the marketing person is opportunistic, childish, tactless. Less extreme, and he or she is purposeful, youthful, social. Notice today's values as expressed to us by our mass media: Fashion, fitness, eternal youth, adventure, daring, novelty, sexuality... these are the concerns of the "yuppie," and his or her less-wealthy admirers. The surface is everything! Let's go bungee-jumping!
5. The productive orientation. There is a healthy personality as well, which Fromm occasionally refers to as the person without a mask. This is the person who, without disavowing his or her biological and social nature, nevertheless does not shirk away from freedom and responsibility. This person comes out of a family that loves without overwhelming the individual, that prefers reason to rules, and freedom to conformity.
The society that gives rise to the productive type (on more than a chance basis) doesn't exist yet, according to Fromm. He does, of course, have some ideas about what it will be like. He calls it humanistic communitarian socialism. That's quite a mouthful, and made up of words that aren't exactly popular in the USA, but let me explain: Humanistic means oriented towards human beings, and not towards some higher entity -- not the all-powerful State nor someone's conception of God. Communitarian means composed of small communities (Gesellschaften, in German), as opposed to big government or corporations. Socialism means everyone is responsible for the welfare of everyone else. Thus understood, it's hard to argue with Fromm's idealism!
Fromm says that the first four orientations (which others might call neurotic) are living in the having mode. They focus on consuming, obtaining, possessing.... They are defined by what they have. Fromm says that "I have it" tends to become "it has me," and we become driven by our possessions!
The productive orientation , on the other hand, lives in the being mode. What you are is defined by your actions in this world. You live without a mask, experiencing life, relating to people, being yourself.
He says that most people, being so used to the having mode, use the word have to describe their problems: "Doctor, I have a problem: I have insomnia. Although I have a beautiful home, wonderful children, and a happy marriage, I have many worries." He is looking to the therapist to remove the bad things, and let him keep the good ones, a little like asking a surgeon to take out your gall bladder. What you should be saying is more like "I am troubled. I am happily married, yet I cannot sleep...." By saying you have a problem, you are avoiding facing the fact that you are the problem -- i.e. you avoid, once again, taking responsibility for your life.
 
Orientation
Society
Family
Escape from Freedom
Receptive
Peasant society
Symbiotic (passive)
Authoritarian (masochistic)
Exploitative
Aristocratic society
Symbiotic (active)
Authoritarian (sadistic)
Hoarding
Bourgeois society
Withdrawing (puritanical)
Perfectionist to destructive
Marketing
Modern society
Withdrawing (infantile)
Automaton conformist
Productive
Humanistic communitarian
socialism
Loving and reasoning
Freedom and responsibility acknowledged and accepted
Evil
Fromm was always interested in trying to understand the really evil people of this world -- not just one's who were confused or mislead or stupid or sick, but the one's who, with full consciousness of the evil of their acts, performed them anyway: Hitler, Stalin, Charles Manson, Jim Jones, and so on, large and small.
All the orientations we've talked about, productive and non-productive, in the having mode or the being mode, have one thing in common: They are all efforts at life. Like Horney, Fromm believed that even the most miserable neurotic is at the least trying to cope with life. They are, to use his word, biophilous, life-loving.
But there is another type of person he calls necrophilous -- the lovers of death. They have the passionate attraction to all that is dead, decayed, putrid, sickly; it is the passion to transform that which is alive into something unalive; to destroy for the sake of destruction; the exclusive interest in all that is purely mechanical. It is the passion "to tear apart living structures."
If you think back to high school, you may remember a few misfits: They were real horror movie aficionados. They may have made models of torture devices and guillotines. They loved to play war games. They liked to blow things up with their chemistry sets. They got a kick out of torturing small animals. They treasured their guns. They were really into mechanical devices. The more sophisticated the technology, the happier they were. Beavis and Butthead are modeled after these kids.
I remember watching an interview on TV once, back during the little war in Nicaragua. There were plenty of American mercenaries among the Contras, and one in particular had caught the reporters eye. He was a munitions expert -- someone who blew up bridges, buildings, and, of course, the occasional enemy soldier. When asked how he got into this line of work, he smiled and told the reporter that he might not like the story. You see, when he was a kid, he liked to put firecrackers up the backside of little birds he had caught, light the fuses, let them go, and watch them blow up. This man was a necrophiliac.
Fromm makes a few guesses as to how such a person happens. He suggested that there may be some genetic flaw that prevents them from feeling or responding to affection. It may also be a matter of a life so full of frustration that the person spends the rest of their life in a rage. And finally, he suggests that it may be a matter of growing up with a necrophilous mother, so that the child has no one to learn love from. It is very possible that some combination of these factors is at work. And yet there is still the idea that these people know what they are doing, are conscious of their evil, and choose it. It is a subject that would bear more study!
 
Biophilous
Necrophilous
Having Mode
Receptive
Exploitative
Hoarding
Marketing
Being Mode
Productive

Human Needs

Erich Fromm, like many others, believed that we have needs that go far beyond the basic, physiological ones that some people, like Freud and many behaviorists, think explain all of our behavior.  He calls these human needs, in contrast to the more basic animal needs.  And he suggests that the human needs can be expressed in one simple statement:  The human being needs to find an answer to his existence.

Fromm says that helping us to answer this question is perhaps the major purpose of culture.  In a way, he says, all cultures are like religions, trying to explain the meaning of life.  Some, of course, do so better than others.

A more negative way of expressing this need is to say that we need to avoid insanity, and he defines neurosis as an effort to satisfy the need for answers that doesn't work for us.  He says that every neurosis is a sort of private religion, one we turn to when our culture no longer satisfies.

He lists five human needs:

1. Relatedness

As human beings, we are aware of our separateness from each other, and seek to overcome it.  Fromm calls this our need for relatedness, and views it as love in the broadest sense.  Love, he says, "is union with somebody, or something, outside oneself, under the condition of retaining the separateness and integrity of one's own self." (p 37 of The Sane Society).  It allows us to transcend our separateness without denying us our uniqueness.

The need is so powerful that sometimes we seek it in unhealthy ways.  For example, some seek to eliminate their isolation by submitting themselves to another person, to a group, or to their conception of a God.  Others look to eliminate their isolation by dominating others.  Either way, these are not satisfying:  Your separateness is not overcome.

Another way some attempt to overcome this need is by denying it.  The opposite of relatedness is what Fromm calls narcissism.  Narcissism -- the love of self -- is natural in infants, in that they don't perceive themselves as separate from the world and others to begin with.  But in adults, it is a source of pathology.  Like the schizophrenic, the narcissist has only one reality:  the world of his own thoughts, feelings, and needs.  His world becomes what he wants it to be, and he loses contact with reality.

2. Creativity

Fromm believes that we all desire to overcome, to transcend, another fact of our being:  Our sense of being passive creatures.  We want to be creators.  There are many ways to be creative: We give birth, we plant seeds, we make pots, we paint pictures, we write books, we love each other.  Creativity is, in fact, an expression of love

Unfortunately, some don't find an avenue for creativity.  Frustrated, they attempt to transcend their passivity by becoming destroyers instead.  Destroying puts me "above" the things -- or people -- I destroy.  It makes me feel powerful.  We can hate as well as love.  But in the end, it fails to bring us that sense of transcendence we need.

3. Rootedness

We also need roots.  We need to feel at home in the universe, even though, as human beings, we are somewhat alienated from the natural world.

The simplest version is to maintain our ties to our mothers.  But to grow up means we have to leave the warmth of our mothers' love.  To stay would be what Fromm calls a kind of psychological incest.  In order to manage in the difficult world of adulthood, we need to find new, boader roots.  We need to discover our brotherhood (and sisterhood) with humanity.

This, too has its pathological side:  For example, the schhizophrenic tries to retreat into a womb-like existence, one where, you might say, the umbilical cord has never been cut.  There is also the neurotic who is afraid to leave his home, even to get the mail.  And there's the fanatic who sees his tribe, his country, his church... as the only good one, the only real one.  Everyone else is a dangerous outsider, to be avoided or even destroyed.

4.  A sense of identity

"Man may be defined as the animal that can say 'I.'" (p 62 of The Sane Society)  Fromm believes that we need to have a sense of identity, of individuality, in order to stay sane.

This need is so powerful that we are sometimes driven to find it, for example by doing anything for signs of status, or by trying desperately to conform.  We sometimes will even give up our lives in order to remain a part of our group.  But this is only pretend identity, an identity we take from others, instead of one we develop ourselves, and it fails to satisfy our need.

5. A frame of orientation

Finally, we need to understand the world and our place in it.  Again, our society -- and especially the religious aspects of our culture -- often attempts to provide us with this understanding.  Things like our myths, our philosophies, and our sciences provide us with structure.

Fromm says this is really two needs:  First, we need a frame of orientation -- almost anything will do.  Even a bad one is better than none!  And so people are generally quite gullible.  We want to believe, sometimes even desperately.  If we don't have an explanation handy, we will make one up, via rationalization.

The second aspect is that we want to have a good frame of orientation, one that is useful, accurate.  This is where reason comes in.  It is nice that our parents and others provide us with explanations for the world and our lives, but if they don't hold up, what good are they?  A frame of orientation needs to be rational.

Fromm adds one more thing:  He says we don't just want a cold philosophy or material science.  We want a frame of orientation that provides us with meaning.  We want understanding, but we want a warm, human understanding.

Discussion
Fromm, in some ways, is a transition figure or, if you prefer, a theorist that brings other theories together. Most significantly for us, he draws together the Freudian and neo-Freudian theories we have been talking about (especially Adler's and Horney's) and the humanistic theories we will discuss later.  He is, in fact, so close to being an existentialist that it almost doesn't matter! I believe interest in his ideas will rise as the fortune of existential psychology does.
Another aspect of his theory is fairly unique to him: his interest in the economic and cultural roots of personality. No one before or since has put it so directly: Your personality is to a considerable extent a reflection of such issues as social class, minority status, education, vocation, religious and philosophical background, and so forth. This has been a very under-represented view, perhaps because of its association with Marxism. But it is, I think, inevitable that we begin to consider it more and more, especially as a counterbalance to the increasing influence of biological theories.

References
Fromm is an excellent and exciting writer.  You can find the basics of his theory in Escape from Freedom (1941) and Man for Himself (1947).  His interesting treatise on love in the modern world is called The Art of Loving (1956).  My favorite of his books is The Sane Society (1955), which perhaps should have been called "the insane society" because most of it is devoted to demonstrating how crazy our world is right now, and how that leads to our psychological difficulties.  He has also written "the" book on aggression, The Anatomy of Human Destructiveness (1973), which includes his ideas on necrophilia. He has written many other great books, including ones on Christianity, Marxism, and Zen Buddhism!

erich fromm: freedom and alienation, and loving and being, in education




Erich Fromm was both a practicing psychoanalyst and a committed and insightful social theorist. We explore his continuing relevance to educational practice and focus on his deeply instructive appreciation of freedom, love and human flourishing. 










contents: introduction | erich fromm – his life | the fear of freedom | alientation | erich fromm and the art of loving | having and being | erich fromm on education | conclusion | further reading and references | links
Erich FrommTo have faith means to dare, to think the unthinkable, yet to act within the limits of the realistically possible; it is the paradoxical hope to expect the Messiah every day, yet not to lose heart when he has not come at the appointed hour. This hope is not passive and it is not patient; on the contrary, it is impatient an active, looking for every possibility of action within the realm of real possibilities. Least of all it is passive as far as the growth and liberation of one's own person are concerned.... 
The situation of mankind is too serious to permit us to listen to the demagogues - least of all demagogues who are attracted to destruction - or even to the leaders who use only their brains and whose hearts have hardened. Critical and radical thought will only bear fruit when it is blended with the most precious quality man is endowed with - the love of life.
Erich Fromm (1973) The Anatomy of Human Destructiveness, page 438
Erich Fromm (1900-1980) was both a practicing psychoanalyst and a committed social theorist. He had the ability to look, as Mills (1959) would have put it, to both individual troubles and public issues. Erich Fromm He also brought to his work a strong religious understanding, a humanistic ethic and a vision of possibility. He had the ability to write for a popular audience, to develop a strong social critique, and to combine psychological insight with social theory (drawing on diverse sources such as Freud and Marx). These qualities did not endear him to a number of his colleagues who viewed his efforts with some suspicion and even alarm. Today, Erich Fromm's work is not a major focus of academic attention - but it still repays study. His insights into the nature of society and human activity have a lot to say to educators - especially those committed to working for fairer and more convivial forms of living. In this article we will briefly review his life and contribution, and look to four areas of his work that directly impact upon the work of educators: freedom, alienation, love and being. We do not explore in any detail his contribution to psychoanalytical thinking and practice.

Erich Fromm – his life

Born in Frankfurt on March 23, 1900, Erich Fromm was the only child of Orthodox Jewish parents. Funk (1999) reports that he characterized his parents as "highly neurotic" and himself as "a probably rather unbearable, neurotic child”. Erich Fromm experienced a religious but cosmopolitan education. As Burston (1991) has noted, his adolescent role models were all scholarly Jews. Hermann Cohen was liberal and well known as an neo-Kantain thinker;  Rabbi Nehemia Nobel was a celebrated Talmudist who was also versed in psychoanalytic literature; and Rabbi Salman Baruch Rabinkow was a student of Jewish mysticism with a strong sympathy for socialism. Given these early influences it is perhaps not surprising that Erich Fromm’s orientation was committed, open and critical. It is also not surprising that his initial vocation was rabbinic. However, the events of the First World War shook Fromm’s thinking.
When the war ended in 1918, I was a deeply troubled young man who was obsessed by the question of how war was possible, by the wish to understand the irrationality of human mass behavior, by a passionate desire for peace and international understanding. More, I had become deeply suspicious of all official ideologies and declarations, and filled with the conviction ‘of all one must doubt. (quoted by Funk 1999)
His studies took him to the University of Frankfurt where, in 1920, he helped to found of the Freies Judisches Lehrhaus (directed by Martin Buber and Franz Rosenzweig), Erich Fromm then went on to undertake a doctorate (in sociology) at Heidelberg (completed in 1922). In 1924 he began his studies in psychoanalysis (studying first in  Frankfurt, then at the Berlin Institute of Psychoanalysis). He also began to turn away from religious observance. Fromm also got married (in 1926) to Frieda Reichman – but this was to be a short union. Reichman was ten years his senior - and had previously been his psychoanalyst. The marriage lasted four years, but Fromm and Freida Fromm Reichman continued to be friends and professional collaborators (Reichman made a notable contribution to the development of pyschoanalysis in relation to schizophrenia ). 
On finishing his studies he helped to found the Frankfurt Psychoanalytic Institute, and was invited to join Frankfurt Institute for Social Research by Max Horheimerthen (and by so doing became a member of the so called ‘Frankfurt School’). From 1929 to 1932 he lectured at both the Psychoanalytic Institute, Frankfurt, and at the University of Frankfurt and worked on a study of the authoritarian character structure of German workers prior to Hitler’s coming to power (published many years later in 1984 as The Working Class in Weimar Germany).
Erich Fromm looked to bring together insights from psychoanalysis and an appreciation of the impact of social structure (influenced, in particular, by his reading of Marx):
I wanted to understand the laws that govern the life of the individual man, and the laws of society-that is, of men in their social existence. I tried to see the lasting truth in Freud's concepts as against those assumptions which were in need of revision. I tried to do the same with Marx's theory, and finally I tried to arrive at a synthesis which followed from the understanding and the criticism of both thinkers. (quoted by Funk 1999)
The Frankfurt Institute was forced out of Germany by the tightening grip of Nazism first to Geneva and then in 1934 to Columbia University. At the time Erich Fromm was suffering from tuberculosis. He stayed in Davos for a number of months before settling in the United States and lecturing at the New School of Social Research (1934–39), Columbia (1940-41), Yale (1949-50), and Bennington (1941-50). He began to publish papers that were critical of Freudian thinking (which both alienated him from some of his Frankfurt school colleagues, and many within US analytical circles). His focus, it can be argued, shifted from a Freudian concern with unconscious motivations, to a recognition that humans are social beings whose beliefs and motivations are deeply inscribed by the societies and cultures of which they are part.
In 1941, the first of Erich Fromm’s deeply influential books appeared: Escape From Freedom (published 1942 as The Fear of Freedom in the UK). It argued that ‘freedom from the traditional bonds of medieval society, though giving the individual a new feeling of independence, at the same time made him feel alone and isolated, filled him with doubt and anxiety, and drove him into new submission and into a compulsive and irrational activity’ (Fromm 1942: 89). This alienation from place and community, and the insecurities and fears entailed, helps to explain how people seek the security and rewards of authoritarian social orders such as fascism. His critique of Freud led to him being suspended from supervising students by the New York Psychoanalytic Institute in 1944. As Burston (1991) has noted Erich Fromm then joined with Clara Thompson, Harry Stack Sullivan, and ex-wife Frieda Fromm-Reichman (among others) to found the William Alanson White Institute (of which he was Clinical Director from 1946 to 1950).
Fromm married for a second time in 1944 (to Henny Gurland) and become and American citizen. In 1950 he relocated to Mexico and a post at the National Autonomous University, Mexico City (at which he taught until 1965). The move was spurred by his second wife’s illness – and physician’s advice that a favourable climate would benefit her. Sadly she soon died (in 1952). Erich Fromm still practiced as a psychoanalyst and after his wife’s death he was invited to found the Mexican Institute of Psychoanalysis in Mexico City, which he directed till 1976.
Erich Fromm’s writing continued with Man For Himself (1947) and The Sane Society (1956). ‘Life in twentieth century Democracy’, Fromm wrote, ‘constitutes in many ways another escape from freedom’ (1956: vii). The analysis of this ‘escape’ via the notion of alienation was particularly powerful. These books, as Kellner (undated) has noted, ‘popularized the neo-Marxian critiques of the media and consumer society, and promoted democratic socialist perspectives during an era when social repression made it difficult and dangerous to advocate radical positions’.
Fromm remarried in 1953 (to Annis Freeman) , and continued to pursue a punishing schedule. He taught for around three months a year in the USA until 1967 (becoming a Professor at New York in 1961/2) and still worked in Mexico. He was also active politically. He was involved in the civil rights movement, campaigns for nuclear disarmament, in anti-Vietnam war activities, and the ecology movement. Erich Fromm's writing continued to be extremely popular through the 1950s and 1960s (although not with the psychoanalytical establishment). A number of ‘classic’ books appeared including The Art of Loving (1957) and Sigmund Freud’s Mission (1959). His continuing engagement with religious thinking (although he was himself a humanist) and notions such as ‘love’ was a source of irritation not just to orthodox Freudians – it was also to be the basis of a series of sharp disagreements with some on the left like Herbert Marcuse (with whom he conducted a series of exchanges on the subject).
In the 1960s Erich Fromm began to explore a further fundamental orientation present in western societies - a fascination with death and things (objects). This theme first appeared in The Heart of Man (1964) and grew into full realization in The Anatomy of Human Destructiveness (1973). As before, Fromm believed that the central driving force was the desire to make up for a lack of authentic being and selfhood. Funk (1999) describes this thus, 'One escape route from this malaise encountered ever more often is to identify with the lifeless, to find attraction in each and every thing as long as it is reified and devoid of life (or else can be reduced to this condition)'. To describe this orientation toward, or love of, death Erich Fromm used the notion of necrophilia. He was concerned to go beyond the popular usage of the term (to refer to sexual contact with the dead; and/or the desire to be near to corpses), and to look to necrophilia as a character-rooted passion - the passion to transform that which alive into something unalive (Fromm 1973: 332). Classically he set this passion to 'tear apart living structures' within a proper social and political context. 'With the increasing production an division of labour, the formation of a large surplus, and the building of states with hierarchies and elites', he wrote, 'large-scale human destructiveness and cruelty came into existence and grew as civilization and the role of power grew' (Fromm 1973: 435). 
To Have or To Be (1976) was Erich Fromm's last major work. In it he argues that two ways of existence were competing for 'the spirit of mankind' - having and being. The having mode looks to things and material possessions and is based on aggression and greed. The being mode is rooted in love and is concerned with shared experience and productive activity. The dominance of the having mode (as he argued in The Anatomy of Human Destructiveness) was bringing the world to the edge of disaster (ecological, social and psychological). Erich Fromm argued that only a fundamental change in human character 'from a preponderance of the having mode to a preponderance of the being mode of existence can save us from a psychological and economic catastrophe' (1976: 165) and set out some ways forward.
Erich Fromm retired to Locarno, Switerzerland, in 1976. He died of a heart attack at Muralto, Switzerland on March 18, 1980. Fromm was survived by his third wife, Annis Freeman Fromm. She died in September 1985.
To be completed

The fear of freedom

`

Alientation

Modern man is alienated from himself, from his fellow men, and from nature. He has been transformed into a commodity, experiences his life forces as an investment which must bring him the maximum profit obtainable under existing market conditions. (Fromm 1957: 67)

Erich Fromm and the art of loving

Love is not primarily a relationship to a specific person; it is an attitude, an orientation of character which determines the relatedness of a person to the world as a whole, not towards one 'object' of love. If a person loves only one other person and is indifferent to the rest of his fellow men, his love is not love but a symbiotic attachment, or an enlarged egotism. (Fromm 1957: 36)
The most fundamental kind of love, which underlies all types of love is brotherly love. By this I mean the sense of responsibility, care, respect, knowledge of any other human being, the wish to further his life. This is the kind of love the Bible speaks of when it says: love thy neighbour as thyself. Brotherly love is love for all human beings; it is characterized by its very lack of exclusiveness. (Fromm 1957: 37)
Whilst we teach knowledge, we are losing that teaching which is the most important one for human development: the teaching which can only be given by the simple presence of a mature, loving person
discipline, concentration, patience p84 sensitivity 88

Having and being

While the having persons rely on what they have, the being persons rely on the fact that they are, that they are alive and that something new will be born if only they have the courage to let go and respond. They become fully alive in the conversation because they do not stifle themselves by anxious concern with what they have. Their own aliveness is infectious and often helps the other person to transcend his or her egocentricity. Thus the conversation ceases to be an exchange of commodities (information, knowledge, status) and becomes a dialogue in which it does not matter any more who is right. (Fromm 1979)

Erich Fromm on education

Students in the having mode must have but one aim: to hold onto what they have learned, either by entrusting it firmly to their memories or by carefully guarding their notes. They do not have to produce or create something new…The process of learning has an entirely different quality for students in the being mode…Instead of being passive receptacles of words and ideas, they listen, they hear, and most important, they receive and respond in an active, productive way’ (Fromm 1979: 37-8). 

Conclusion


Further reading and references

Fromm, E. (1942) The Fear of Freedom, London: Routledge and Kegan Paul. 257 + xi pages. A classic study of the submission to authority and totalitarism. Chapters explore freedom as a psychological problem; freedom in the age of the reformation; two aspects of freedom for modern man; mechanisms of escape; the psychology of nazism; and freedom and democracy. An appendix explores character and the social problem.
Fromm, E. (1947) Man For Himself. An inquiry into the psychology of ethics, 1969 edn. Greenwich, Conn.: Fawcett Premier. 256 + x pages. Discusses the problem of ethics, ‘of norms and values leading to the realization of man’s self and of his potentialities’ (v). Part one examines the problem; part two, humanistic ethics (the applied science of the art of living); part three, human nature and character; and part four, problems of humanistic ethics.
Fromm, E. (1956) The Sane Society, London: Routledge and Kegan Paul. 370 + ix pages. Described by Fromm as a continuation of Fear of Freedom and, to some extent, Man for Himself, Fromm tries to show that ‘life in twentieth century Democracy constitutes in many ways another escape from freedom, and the analysis of this particular escape, centered around the concept of alienation constitutes a good part of this book’ (vii). The central part of the book deals with human being’s social character and the structure of capitalism. Erich Fromm goes on to argue for a third way between totalitarianism and capitalist managerialism  - humanistic communitarianism: ‘Man’s use by man must end, and economy must become the servant for the development of man’ (361).
Fromm, E. (1957) The Art of Loving 1995 edn. London: Thorsons. 104 + viii pages. Now marketed as a ‘classic of personal development’, this book is very different from most of the other books that inhabit the personal growth shelves in bookshops. Erich Fromm’s exploration of love is an exercise in social theory. He asks ‘is love an art?’, goes on to examine the theory of love, and then explores love and its disintegration in contemporary western society. A final chapter examines the practice of love. While written from his distinctive humanistic perspective, the book looks to various religious sources to help make sense of love.
Fromm, E. (1961) May Man Prevail? An Inquiry into the Facts and Fictions of Foreign Policy Fromm’s exploration of fears of Russian aggression via an analysis, amongst other things of Communist social structure.
Fromm, E. (1964) The Heart of Man. Its Genius for Good and Evil  A study of the polarity of possible orientations on the basis of character and the first major statement Erich Fromm's attempts to dissect what he saw as a further fundamental orientation present in western societies - a fascination with death and things (objects).
Fromm, E. (1973) The Anatomy of Human Destructiveness, New York: Holt, Rinehart and Winston. 520 + xvi pages. This book brings develops Erich Fromm's thinking around aggression and necrophilia - passion to 'tear apart living structures'. Part one deals with instincivism, behaviorism, and psychoanalysis; part two with the evidence against the instinctivist theses; an part three with the varieties of aggression and destructiveness and their respective conditions. An appendix deals with Freud's theory of agressiveness and destructiveness.  
Fromm, E. (1976) To Have or to Be, 1979 edn. London: Abacus. 224 pages. In this book Erich Fromm argues that two ways of existence are competing for 'the spirit of mankind' - having and being. The having mode looks to things and material possessions and is based on aggression and greed. The being mode is rooted in love and is concerned with shared experience and productive activity. Part one deals with understanding the difference between having and being;  part two with analyzing the fundamental differences between the two modes; and part three with the new man and the new society.

References

Burston, D. (1991) The Legacy of Erich Fromm, Harvard University Press. See also his web page – ‘Erich Fromm: The forgotten prophet’, http://www.duq.edu/facultyhome/burston/legacy.html.
Fromm, E. (1950) Psychoanalysis and Religion, New Haven: Yale University Press.
Fromm, E. (1958) Sigmund Freud’s Mission. An Analysis of His Personality and Influence
Fromm, E. (1961) Marx's Concept of Man, New York: Frederick Ungar.
Fromm, E. (1966) You Shall Be Gods, New York: Holt, Rinehart and Winston.
Fromm, E. (1970) The Crisis of Psychoanalysis. Essays on Freud, Marx, and Social Psychology, New York: Holt, Rinehart and Winston.
Fromm, E. and Maccoby, M. (1970) Social Character in a Mexican Village, Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall. 
Fromm, E., Suzuki, D. T., and de Martino, R. (1960) Zen Buddism and Psychoanalysis, New York: Harper and Row. 
Fromm, E. (1984) The Working Class in Weimar Germany. A Psychological and Sociological Study, London: Berg Publishers.
Funk, R. (1999) ‘Erich Fromm’s Life and Work’, erichfromm.org, http://www.erichfromm.de/english/life/life_bio2.html.
Funk, R. (2000) ‘The Continuing Relevance of Erich Fromm’, erichfromm.org, http://www.erichfromm.de/english/life/life_relevance_funk.html.
Kellner, D. (undated) ‘Erich Fromm’, Illuminations, http://www.uta.edu/huma/illuminations/kell9.htm 
Macoby, M. (1994) ‘The Two Voices of Erich Fromm: The Prophetic and the Analytic’, Society, http://www.maccoby.com/Articles/TwoVoices.html
Mills, C. W. (1959) The Sociological Imagination, New York: Oxford University Press.


Links

The International Erich Fromm Society. This is the English version of an excellent collection of material, reviews, etc. It includes a useful introduction to Erich Fromm by Rainer Funk. The first place to go for Fromm. See, also, Erich Fromm’s humanist credo.
Erich Fromm Papers: Details of the materials held in the New York Public Library plus a useful outline of his career.
Personality Theories: Erich Fromm. A helpful page from C. George Boeree’s site on personality theorists that outlines Fromm’s life and his theories in this area.
Illuminations: Douglas Kellner’s and others contributions on Fromm and critical theory.
 
 To cite this article: Smith, M. K. (2002) ‘Erich Fromm: alienation, being and education’ the encyclopedia of informal education, http://www.infed.org/thinkers/fromm.htm. Last update: January 30, 2005
Jalan Ketiga
Oleh Ivan A Hadar


BERBAGAI program partai peserta pemilu yang ditawarkan, belum menyentuh pertanyaan mendasar tentang tatanan sosial-politik apa yang diinginkan bagi Indonesia masa depan. Mungkin, kebanyakan partai memang belum sempat berpikir ke situ, karena baru seumur jagung. Sementara itu, partai yang lebih lama, masih membawa bias Orde Baru yang 'anti-ideologi'.
Diskusi pencarian tatanan sosial-politik ideal memang pernah berkembang, terutama pada era demokrasi parlementer. Penulis ingin merangsang kembali diskusi tentang hal tersebut agar kita tidak terjebak dalam kesalahan yang sama: membangun tanpa visi dan strategi yang terjadi selama tiga dekade terakhir.

***

DALAM membicarakan tatanan sosial-politik yang ideal, sering hadir kerinduan untuk menemukan "Jalan Ketiga" antara kapitalisme dan sosialisme. Dalam catatan sejarah dunia, kita misalnya mengenal istilah-istilah sosialisme-demokratis atau sosialisme-pasar. Meski bukan "Jalan Ketiga", di negeri ini, ada pula istilah sosialisme dengan embel-embel religius. Lalu, mungkin karena takut digebuk, di masa pemerintahan Orde Baru, ada pula yang menyebut dirinya sosialis pancasilais.
Sosialisme-pasar sebagai konsep, pernah diujicobakan di negara-negara Blok Timur era Perang Dingin, seperti di Yugoslavia dan Hongaria. Meski apa yang dihasilkannya, jauh dari memuaskan dan tetap menyisakan kerinduan akan "Jalan Ketiga" yang lain.
Pertanyaannya, apa mungkin ada "Jalan Ketiga" dan, bukan nantinya, hanya sekadar rakitan dua isme yang bertolak-belakang, sehingga dampaknya seakan mencampur minyak dan air? Sesuatu yang terkesan asalan, seperti yang pernah dituduhkan pada konsep "Ekonomi Pancasila". Pertanyaan tentang adakah "Jalan Ketiga" yang tidak sekadar rakitan, membutuhkan hasil pemikiran teoretis mendalam. Belum lagi uji-cobanya secara empiris dalam sebuah proses dialektis. Yang mungkin lebih mudah, adalah mengambil salah satu isme, kemudian direformasi agar sesuai dengan lahan tempatnya diterapkan.
Pertanyaan yang lebih konkret ialah, perlukah "Jalan Ketiga"? Jawaban mudahnya, perlu, yaitu agar sisi positif sosialisme sebagai perangkat analisis sosial yang tajam dalam menggambarkan tatanan berkeadilan bisa digabungkan dengan tatanan politis demokratis yang menjadi persyaratan bagi berfungsinya sebuah ekonomi pasar.
Di negara-negara kapitalis modern yang maju, telah berlaku demokrasi politik. Tetapi, tidak demikian halnya dengan demokrasi ekonomi. Pencapaian demokrasi politik, secara historis tentu saja sangat penting, tetapi itu kurang lengkap. Ia sekadar merupakan demokrasi perwakilan yang pasif, di mana sebagian besar rakyat memilih orang lain untuk bertindak bagi mereka. Kadar partisipasi aktif sangatlah terbatas, bahkan di banyak negara, sentralisasi politik justru meningkat. Juga kekuatan ekonomi tetap terkonsentrasi dan demokrasi ekonomi masih menanti masa depan yang lebih baik.
Sementara itu, 'eksperimen' sosialisme negara-negara Blok Timur telah gagal. Tidak adanya demokrasi politik mengakibatkan krisis politik. Yang paling dramatis terjadi di Polandia tahun 1980, kemudian berujung pada tumbangnya Uni Soviet dan Blok Timur secara keseluruhan. Tidak adanya demokrasi politik-ekonomi di negara-negara komunis waktu itu, dikemas dalam konteks full employment yang dipaksakan dan perencanaan sentralistis, mengakibatkan stagnasi dan inefisiensi ekonomi serta lemahnya disiplin (tenaga) kerja.

***

KETIDAKPUASAN atas dua isme tersebut, memicu pencarian alternatif. Secara teoretis, hal itu telah memunculkan berbagai aliran sosialisme. Sosialisme-demokratis adalah salah satu bentuk sosialisme yang menemukan lahan berkembang di beberapa negara industri maju, seperti Jerman dan Swedia. Selain itu, kita pernah mendengar berbagai genre sosialisme, seperti sosialisme-non-Marxis, sosialisme-science-movement, sosialisme-utopis dan sebagainya.
Dalam catatan sejarah Indonesia, ada empat partai politik di Indonesia yang pernah menyandang nama "sosialis" sebagai nama dan ideologi resmi partainya. Partai-partai itu adalah Partai Sosialis yang diketuai Amir Sjarifuddin, Partai Rakyat Sosialis (PARAS) yang didirikan dan diketuai oleh Sutan Sjahrir. Kemudian ada Partai Sosialis yang merupakan fusi dari kedua partai tersebut. Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet Republik Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 1947, ketika terjadi keretakan antara kelompok Sjahrir dan kelompok Amir Sjarifuddin. Sjahrir lalu membentuk partai baru yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) awal tahun 1948 dan bertahan sampai tahun 1960, ketika dibubarkan Soekarno.
Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, kita mengenal sederetan tokoh, termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip-prinsip sosialis. Namun, di antara tokoh-tokoh tersebut, barangkali bisa dikemukakan bahwa hanya Sjahrirlah yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangannya. Ia bukan saja telah mendirikan partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinan itu, tetapi jauh sebelum itu ia telah memikirkan secara mendalam tentang paham sosialisme apa yang paling cocok buat Indonesia.
Sjahrir dengan tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia dengan sosialisme yang terdapat di Eropa Barat maupun sosialisme yang ditawarkan pihak komunis. Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan kekhawatirannya akan komunisme yang totaliter, telah membawanya pada satu pemikirannya sendiri tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan. Bagi Sjahrir, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan dan penegasan bahwa sosialisme seperti dipahaminya, selamanya menjunjung tinggi dasar persamaan derajat manusia.
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa cita-cita sosialisme-kerakyatan dari Sjahrir ini tidak berhasil diwujudkan sebagaimana diharapkan. Tetapi ketidakberhasilan ini barangkali bukan semata-mata karena Sjahrir tergeser dari panggung politik atau karena PSI dibubarkan. Sosialisme, apa pun namanya, hanyalah suatu paham, suatu cita-cita yang masih berada di tingkat konsepsi. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus dibuat operasional dan harus didukung oleh seperangkat institusi dan mekanisme-mekanisme tertentu. Ini memang bukan hal yang mudah. Tetapi tanpa itu, ia hanya akan berhenti pada imbauan-imbauan moral atau etis, namun tidak membawa perubahan apa-apa.
( * Dr Ivan A Hadar, presiden IDe (Indonesian Institute for Democracy Education), Jakarta. )

Dr. Rumadi dan Abd Moqsith Ghazali:

Gus Dur Adalah Jendela, Garansi, Lokomotif

04/10/2006
Buku Gus Dur terbaru, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang pekan lalu diluncurkan (21/8), merekam konsistensi garis besar pemikiran dan sikap Gus Dur dalam soal-soal keagamaan dan kebangsaan. Gus Dur tetap kokoh di jalur keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Itulah setidaknya kesaksian dua intelektual muda NU, Dr. Rumadi dan Abd. Moqsith Ghazali kepada Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (21/9) lalu.
  •  
Dr. Rumadi dan Abd Moqsith Ghazali:
Gus Dur Adalah Jendela, Garansi, Lokomotif
Buku Gus Dur terbaru, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang pekan lalu diluncurkan (21/8), merekam konsistensi garis besar pemikiran dan sikap Gus Dur dalam soal-soal keagamaan dan kebangsaan. Gus Dur tetap kokoh di jalur keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Itulah setidaknya kesaksian dua intelektual muda NU, Dr. Rumadi dan Abd. Moqsith Ghazali kepada Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (21/9) lalu.
JIL: Mas Rumadi, buku yang memuat kolom-kolom Gus Dur setelah lengser dari kursi kepresidenan sudah terbit kemarin. Sebagai salah seorang editornya, apa yang dimaksud Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita, yang dijadikan judulnya itu?
Rumadi: Oh, itu diambil dari salah satu judul tulisan Gus Dur yang ada di dalam buku itu. Judul tulisan itu sebenarnya menggambarkan pusaran utama keseluruhan pemikiran Gus Dur yang ada di dalam buku itu. Kalau dilihat mendetail, memang banyak sekali hal-hal yang dibicarakan Gus Dur, sejak soal Islam dan ketatanegaraan, sampai responnya terhadap masalah-masalah kontemporer seperti kasus Inul dan problem ekonomi global.
Esai dengan judul Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita, yang menjadi judul buku itu sebenarnya tidak panjang. Tapi dari esai itu kita menyadari bahwa Islam memang beragam. Ungkapan pribadi seseorang dalam berislam mungkin berbeda atau juga bertentangan dengan apa yang saya alami. Dari situlah kita dapat melihat adanya Islam yang aku pahami secara pribadi, dan Islam yang Anda pahami menurut Anda sendiri. Namun meski beragam, kita tetap Islam, dan disitulah mulai dikatakan soal Islam kita.
Jadi judul buku ini menggambarkan Islam yang warna-warni; meski Islamnya satu tapi masing-masing orang punya pemahaman berbeda-beda tentang Islam.
JIL: Mas Moqsith, dari telaah Anda atas tulisan-tulisan Gus Dur, apakah keragaman Islam itu hanya ditunjukkan dari sudut pandang sosiologis-antropologis saja, atau juga dalam soal doktrin-teologisnya?
Moqsith: Saya kira, tidak hanya keragaman dari sisi sosiologis-antropologis yang sejak lama didengungkan Gus Dur. Kita tidak bisa mengelak bahwa di dalam soal doktrin, dalam tafsir keagamaan yang paling asasi pun kita tak mungkin bisa menunggal. Karena itu, ada Islamku, yakni Islam sebagai hasil penafsiran yang bersifat personal-individual dari seseorang; ada Islam Anda yang berdasarkan penafsiran Anda dan juga Islam kita, yang menjadi benang merah dari Islamku dan Islam Anda.
Menurut Gus Dur, yang dinamakan Islam kita itu adalah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang universal. Gus Dur sering mengutip al-Ghazali soal 5 prinsip dasar ajaran Islam. Pertama adalah soal kebebasan beragama. Gus Dur adalah orang kampung yang saya kira sangat konsisten melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Sebab minoritas agama, ras, dan sebagainya itu, merupakan bagian dari perwujudan tafsir atau pemahaman orang terhadap Islam. Menurut Gus Dur, mereka itu tidak bisa dihancurkan.
Di samping kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan aspek-aspek kebebasan lain juga terus-menerus didengungkan Gus Dur. Bagi saya, Gus Dur telah memberi injeksi moral agama ke dalam isu-isu yang dianggap bersifat profan sekalipun. Dia bicara HAM, demokrasi, pluralisme, dan sebagainya.
JIL: Apa soal baru yang buku ini, Mas Rumadi ?
Rumadi: Bagi saya, yang perlu dari buku ini bukan soal baru atau tidaknya, tapi justru kesaksian akan konsistensi Gus Dur dalam pikiran-pikiran yang sejak lama ia usung. Saya belum pernah melihat pemikir Indonesia yang begitu konsisten membela prinsip-prinsip yang ia pegang teguh sebagaimana Gus Dur. Buah pikirannya bukan hanya diwacanakan dalam bentuk tulisan lalu diseminarkan dlsb., tapi juga diwujudkannya dengan aksi. Lihatnya bagaimana kukuhnya Gus Dur berpegang pada prinsip anti-diskriminasi. Bukan hanya menulis, dia benar-benar memperjuangkan prinsip itu dalam aksi nyata.
Juga konsistensinya dalam pembelaan terhadap pluralitas. Dia tetap melakukan itu meski dianggap kerja yang tidak populer dan dipandang kontroversial. Tapi dia tetap lakukan pembelaan. Dalam soal pembelaan atas pluralitas, saya tidak pernah melihat orang sekonsisten Gus Dur. Aktivismenya juga merupakan cerminan dari apa yang ia pikirkan.
JIL: Mas Moqsith, Anda melihat konsistensi dan kesinambungan dalam gagasan-gagasan keislaman Gus Dur, atau justru melihat titik-titik kisar perubahan paradigma berpikir?
Moqsith: Saya pertama-tama melihat Gus Dur sebagai sosok santri, dan santri itu dididik berpikir secara plural oleh tradisi fikih. Sebab, tak mungkin ada pandangan yang tunggal di dalam fikih. Karena itu, orang yang ahli fikih seperti Gus Dur, tak mungkin menganut satu konsep kebenaran absolut. Itulah saya kira yang pertama kali mendidik Gus Dur untuk tidak memutlakkan pandangannya sendiri. Di samping fikih, dia juga banyak belajar ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. Dia juga pembaca sastra yang baik. Karena itu, medan perhatian Gus Dur terhadap ilmu pengetahuan amatlah luas.
Nah, di sinilah ia berbeda dengan tokoh Indonesia lainnya seperti Prof. Syafi�i Ma�arif atau Buya Syafii. Buya bukanlah pembaca buku dengan dimensi yang sangat luas. Buya terutama adalah seorang sejarawan dan mungkin juga pembaca buku-buku keislaman yang cukup luas. Tapi bacaan Gus Dur memang luar biasa, bukan hanya fikih, tapi juga fasih bicara sastra. Ketika masih SMP dan SMA dulu, saya juga sering melihat Gus Dur sebagai pengamat sepakbola. Ini menunjukkan bahwa perhatian Gus Dur terhadap banyak dimensi kehidupan sangat besar sekali.
JIL: Selain soal minat bacaan, apa perbedaan lainnya dengan sosok Buya Syafii yang beberapa bulan lalu juga meluncurkan otobiografinya yang memikat?
Moqsith: Mungkin yang juga berbeda adalah titik berangkatnya. Gus Dur bukanlah seorang ploretar, tapi datang dari kalangan aristokrat. Kakek dan bapaknya ibarat raja di dalam tradisi NU. Tapi anehnya, gagasan-gagasan Gus Dur itu potensial menghancurkan dirinya sendiri. Dari politik berwacana, itu sebenarnya merugikan. Tapi Gus Dur tetap melakukan itu. Gagasan-gagasannya seakan-akan ingin menghancurkan kelasnya sendiri. Dia kan seorang yang punya otoritas tinggi, tapi tiap hari ia seakan menghancurkan otoritasnya sendiri.
Itu dapat diamati dari pandangan-pandangan keagamaannya yang di kalangan para kyai cukup kontroversial. Kerja seperti itu, kalau tak hati-hati, tentu akan melenyapkan kharisma dan lain sebagainya. Tapi Gus Dur tidak peduli, ia tetap membuat perbedaan. Ia tetap konsisten menghadirkan sudut pandang yang berbeda dalam melihat banyak persoalan. Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiah, aliran kepercayaan, dan lain-lain, sudah konsisten ia lakukan sejak dulu dan sampai sekarang.
JIL: Mas Rumadi bisa menunjukkan konsistensi gagasan keislaman Gus Dur lebih rinci lagi?
Rumadi: Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran Gus Dur, masa-masa awalnya memang tak lempang-lempang amat. Dia pernah mendukung gagasan-gagasan Ihkwanul Muslimin yang dianggapnya sebagai salah satu ptototipe Islam yang benar. Tapi setelah belajar tentang nasionalisme Arab dan sosialisme di Irak, dia mulai berubah pikiran. Selanjutnya, perubahan-perubahan itu terus terjadi, terkait dengan pengalaman hidup Gus Dur sendiri.
Setelah melihat kenyataan Islam Indonesia, dia menemukan ide-ide baru yang pelan-pelan mulai menggeser cara pandangnya yang lama. Sekarang, yang dia pegang adalah prinsip-prinsip dasar Islam yang disebutkan tadi. Tapi dia terlihat konsisten dalam prinsip dasar pemikirannya. Dalam aksi politik, ia memang sering agak sirkus dan zig-zag. Tapi prinsip-prinsip dasar pemikirannya terlalu jelas untuk dilihat. Tak ada sesuatu yang samara-samar atau kabur. Prinsip-prinsip dasar pemikiran Gus Dur menurut saya terlalu jelas.
JIL: Anda bisa merinci gagasan-gagasan keislaman apa yang paling penting dari Gus Dur?
Moqsith: Yang sangat popular tentu soal pribumisasi Islam. Ini adalah cara Gus Dur khususnya dan NU umumnya untuk menolak Arabisasi. Tapi ini juga bukan pikiran yang baru datang dari Gus Dur, karena sejak dulu para kyai pesantren sudah punya kecenderungan untuk menghadirkan jenis keislaman yang khas Indonesia, tanpa banyak dicampur unsur Arabisme. Jadi pribumisasi Islam itu hanya stempelnya saja. Gus Dur berjasa menteorikannya. Gus Dur telah memberi nama terhadap jenis perjuangan yang dilakukan oleh para ulama Indonesia sejak Walisongo sampai sekarang.
Gagasan Gus Dur yang sampai sekarang masih konsisten juga adalah aspek penolakannya terhadap negara Islam. Dia mungkin terpengaruh oleh buah pikiran Ali Abdul Raziq (ulama Mesir) yang mengatakan tidak adanya konsep negara Islam. Sampai sekarang, dengan pilihan itu, dia dicaci-maki dan berhadapan dengan banyak orang.
Salah satu pemikiran Gus Dur yang sudah cukup jelas juga adalah visi kebangsaannya. Visi kebangsaan itu berulang kali dia tuangkan dalam ungkapan bahwa tidak ada ajaran Islam yang mengharuskan untuk menegakkan negara Islam. Itu berulangkali dia katakan. Dia juga sering mengatakan, �Meski saya Islam dan mayoritas orang Indonesia itu beragama Islam, tidak terbesit sedikit pun di pikiran saya untuk mendominasi Indonesia ini atas nama Islam.� Gus Dur juga seringkali mengatakan bahwa yang ia perjuangkan adalah Islam berwatak kultural, bukan Islam yang selalu ingin tampil di kelembagaan politik. Prinsip itu diwujudkannya dengan cara membentuk partai politik yang bervisi kebangsaan.
Saya kira itu pikiran-pikiran dasar Gus Dur. Ia memang punya perhatian besar terhadap isu-isu politik, persoalan pluralisme dan sebagainya. Tapi yang tidak dilakukan Gus Dur adalah menulis secara serius pandangannya tentang perempuan. Saya kira, pada aspek itu ada kemiripan antara Gus Dur dengan almarhum Cak Nur.
JIL: Bisa lebih detil tentang sejarah penyikapan NU atas perjuangan politik yang menginginkan negara Islam di Indonesia?
Rumadi: Pada masa awalnya, tahun 1945--1955, NU berada dalam blok atau kelompok yang memperjuangkan tegaknya Islam sebagai dasar negara. Tapi di situ ada polemik antara Gus Dur dan adiknya, Gus Solah (Solahuddin Wahid). Gus Dur bilang, NU tidak mendukung Islam sebagai dasar negara, sementara Gus Solah bilang sebaliknya. Saya cenderung mengatakan bahwa NU pada mulanya berada dalam blok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Tapi sejarah tidak berjalan linier. Di tengah arus, ada masa ketika NU harus mengambil sikap tentang hidup bernegara. Itu secara jelas diproklamasikan di tahun 1984, dipelopoli langsung oleh Gus Dur. Di situ dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara kesatuan dengan Pancasila sebagai dasarnya, merupakan bentuk yang final bagi NU. Apakah pernyataan final itu cerminan keinginan jamaah NU, atau cerminan situasi ketika NU tidak bisa berkata lain, tentu akan diuji sendiri oleh sejarah.
Buktinya, dalam perkembangan belakang, ada saja beberapa kompenen NU yang tidak tahan akan godaan negara Islam. Itu bisa dibuktikan lewat kelompok-kelompok di dalam NU yang membuat partai dengan Islam sebagai asasnya. Bahkan dalam Muktamar NU tahun 1999, ada juga yang mengusulkan agar NU kembali ke asas Islam, meski suara itu akhirnya bisa dieliminasi. Saya kira, ini merupakan salah satu bentuk pergumulan pemikiran NU. Arus besarnya memang masih dikusai kalangan yang menginginkan NKRI. Tapi riak-riak yang menghendaki dan memimpikan adanya negara Islam tampaknya tak juga pernah mati di lingkungan NU.
JIL: Gus Dur pernah menulis tentang Islam sebagai faktor komplementer atau pelengkap Indonesia. Apakah gagasan seperti itu masih dianut mayoritas di NU atau sudah diganti menjadi Islam sebagai kekuatan hegemonik?
Moqsith: Gagasan Islam sebagai faktor komplementer itu saya kira bukan hanya dimiliki Gus Dur, karena kyai-kyai lain juga berpikir tentang hal yang sama. Dan sampai sekarang, saya kira gagasan itu masih cukup kuat. Itu dapat dibuktikan dari pandangan beberapa kyai, termasuk KH Sahal Mahfudz yang menolak formalisasi syariat Islam atau perda bernuansa syariah Islam. Gus Mus atau KH Mustofa Bisri juga seperti itu. Artinya mereka ingin menjadikan fikih sebagai dunia di dalam basis kulturalnya saja dan tidak masuk ke dalam institusi negara. Itu pandangan yang hampir merata di lingkungan kiay-kiay NU. Kyai Sahal telah menolak fikih dijadikan hukum positif negara, tetapi menerimanya sebagai etika sosial. Karena itu, keterlibatan Islam di dalam negara yang majemuk ini tidak bisa dalam format ingin mendominasi dan menjadi satu-satunya faktor penentu. Ia hanya menjadi unsur komplementer saja...
JIL: Sebagai generasi muda NU, seberapa jauh pikiran-pikiran Gus Dur mempengaruhi Anda dan teman-teman?
Moqsith: Bagi saya, Gus Dur itu adalah jendela bagi warga NU. Melalui jendela itulah warga NU bisa mengintip, bisa melihat luasnya dunia luar. Keberhasilan Gus Dur terletak dalam cara dia menginspirasi anak-anak muda di pesantren. Lewat Gus Dur, anak-anak muda mulai belajar menulis dan berpikir secara kritis. Di tahun 1991, ada rumusan pentingnya melakukan kontekstualisasi pemahaman kitab kuning. Itu tidak terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan generasi-generasi tua NU seperti Gus Dur, Masdar Farid Mas�udi, dan lain-lain. Saya kira di situ terletak peran yang sangat besar dari Gus Dur.
Yang kedua, dari segi gagasan, Gus Dur itu memang mumpuni, terlepas dia adalah seorang Gus, anak dari bapaknya dan cucu dari kakeknya yang mendirikan NU. Karena itu, ia memiliki otoritas sangat besar untuk melakukan perubahan-perubahan paradigmatik di lingkungan NU. Apa yang dilakukan Gus Dur akan gampang diamini anak-anak muda. Resistensi atas gagasan dan gerakannya pun tidak akan terlalu kuat ketimbang kalau dikatakan dan dilakukan orang lain. Jadi, keluar Gur Dur menjadi jendela, di dalam ia menjadi garansi bagai anak-anak muda. Kalau anak-anak muda dikritik para kyai, Gus Dur akan memberi penjelasan-penjelasan dengan menggunakan bahasa kyai, dlsb.
JIL: Anda optimistis atau pesimistis akan perkembangan intelektual anak-anak muda NU setelah Gus Dur?
Moqsith: Saya kira ke depan kita tak bisa lagi bersandar pada individu atau tokoh. Itu harus diakhiri. Apa yang dilakukan anak muda NU sekarang adalah institusionalisasi gagasan-gagasan Gus Dur. Itu sudah berkembang melalui lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang dikembangkan sejumlah NGO/LSM di beberapa daerah. Kalau terus mengandalkan tokoh, sejumlah tokoh memiliki keterbatasan. Ketika Gus Dur menjadi politisi dalam pengertian yang sesungguhnya, susah mengikuti alur permainannya yang bagai sirkus.
Untungnya anak-anak muda NU mampu menentukan barometer: yang harus kita ikuti dari Gus Dur adalah Gus Dur yang makro, bukan Gus Dur yang mikro, seperti istilah almarhum Cak Nur. Gus Dur yang kulli bukan Gus Dur yang juz�i. Itu saya kira patokan yang baik bagi kita dalam melakukan gerakan perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat. Saya kira, gagasan-gagasan Gus Dur tetap relevan karena ia lebih banyak bukan gagasan yang tentatif. Pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam, saat ini makin relevan seiring makin maraknya orang berpikir tentang negara Islam dan mengintensifkan Arabisasi terhadap Islam.
JIL: Bagi Anda seperti apa kedudukan Gus Dur bagi generasi muda NU?
Gus Dur bukan hanya jendela tapi juga lokomotif. Di belakang Gus Dur terdapat banyak anak muda NU yang disebut progresif atau apapun namanya. Semaunaya tidak ada yang terlepas dari inspirasi Gus Dur. Tapi memang ke depan kita tidak bisa bersandar pada Gus Dur atau figur seorang tokoh. Tapi gagasan-gagasannya memang tetap perlu disosialisasikan, diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan yang lebih riil. []

Fundamentalisme dan Neoliberalisme

Oleh Luthfi Assyaukanie


Saya tidak tahu kapan mulanya dua istilah itu disandingkan dan didiskusikan secara bersamaan. Tapi, akhir-akhir ini banyak sekali pembicaraan tentang dua konsep itu. Umumnya, pembicaraan mengarah kepada satu penilaian, yakni bahwa fundamentalisme dan neoliberlisme merupakan ancaman bagi kehidupan manusia. Secara simplistik, ancaman itu diteriakkan dengan menciptakan slogan seperti �fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.Fundamentalisme dan Neoliberalisme adalah dua kata yang berbeda. Keduanya bisa bertentangan dan bisa saling bertemanan. Secara umum, fundamentalisme berarti gerakan sosial-politik yang ingin mengembalikan suatu kondisi pada nilai-nilai yang asasi, yang fundamental. Kendati istilah ini bisa dikenakan kepada gerakan apa saja, tapi ia lebih sering disematkan kepada gerakan keagamaan. Dari sini kita mengenal istilah �Fundamentalisme Kristen,� �Fundamentalisme Hindu,� dan �Fundamentalisme Islam.�
Sementara itu, neoliberalisme adalah sebuah fenomena sosial-politik yang biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang mendukung dan ingin menghidupakan kembali gagasan-gagasan liberalisme klasik. Neoliberalisme adalah kata lain dari �liberalisme baru.� Neoliberalisme kerap dianggap sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal, dan globalisasi.
Saya tidak tahu kapan mulanya dua istilah itu disandingkan dan didiskusikan secara bersamaan. Tapi, akhir-akhir ini banyak sekali pembicaraan tentang dua konsep itu. Umumnya, pembicaraan mengarah kepada satu penilaian, yakni bahwa fundamentalisme dan neoliberlisme merupakan ancaman bagi kehidupan manusia. Secara simplistik, ancaman itu diteriakkan dengan menciptakan slogan seperti �fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.�
Sebenarnya, meletakkan fundamentalisme dan neoliberalisme dalam satu keranjang tidaklah terlalu tepat. Seperti dikatakan di atas, dua istilah ini bisa saling bertentangan dan bisa juga saling bertemanan. Di Amerika, fundamentalisme Kristen dapat berkolaborasi dengan rezim neoliberalisme pimpinan George Walker Bush. Kelompok-kelompok fundamentalis Kristen seperti Moral Majority dan Evangelistic Association merupakan pendukung setia presiden Bush.
Namun di negara-negara berkembang, fundamentalisme (baik Kristen maupun lainnya) cenderung bersikap kritis terhadap neoliberalisme. Gerakan keagamaan di Amerika Latin, yang biasa dikenal dengan sebutan �Teologi Pembebasan� adalah kelompok yang paling rajin mengecam neoliberalisme.
Karena itu, orang sering mengatakan bahwa kritik-kritik dan kecaman terhadap liberalisme baru atau neoliberalisme sesungguhnya datang dari sisa-sisa semangat Marxisme, baik yang hidup dalam gerakan-gerakan sosial kiri, maupun gerakan-gerakan keagamaan. Perlu dicatat, ketika Marxisme dan pemikiran sosialis masih berjaya (sekitar tahun 1960-an), kaum agamawan adalah salah satu kelompok yang paling bersemangat mendukung gagasan sosialisme.
Dari sundut pandang ini, pertentangan agama/fundamentalisme dengan neoliberalisme merupakan rejuvenasi dari pertentangan klasik antara Liberalisme dengan Marxisme. Kendati Marxisme semakin tidak populer pasca runtuhnya Uni Soviet, semangatnya masih terus tumbuh dalam kelompok-kelompok keagamaan dan kelompok-kelompok sosial berhaluan �kiri.�
Bagi kelompok-kelompok fundamentalisme agama (Islam khususnya), anti-neoliberalisme bisa juga dijadikan argumen dan semangat baru untuk menghidupkan gagasan �ekonomi syari�ah.� Sementara bagi kelompok-kelompok kiri, ini adalah momentum untuk menghidupkan sisa-sisa Marxisme yang semakin dilupakan orang. Karenanya, sungguh tepat apa yang dikatakan David Horowitz, bahwa kaum fundamentalis dan kelompok kiri bisa saja saling bersatu dalam sebuah �persekongkolan yang kotor� (unholy alliance). []

NKRI Sudah Final

Oleh Luthfi Assyaukanie

12/06/2006
Biasanya saya kurang suka dengan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya karena fatwa-fatwa itu cenderung punya dampak negatif bagi tatanan kehidupan bermasyarakat ketimbang memberikan sebuah solusi yang tepat (misalnya fatwa soal Ahmadiyah). Tapi, saya merasa senang mendengar fatwa terbaru MUI tentang bentuk negara RI, yakni NKRI, sebagai sesuatu yang sudah final.

Biasanya saya kurang suka dengan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya karena fatwa-fatwa itu cenderung punya dampak negatif bagi tatanan kehidupan bermasyarakat ketimbang memberikan sebuah solusi yang tepat (misalnya fatwa soal Ahmadiyah). Tapi, saya merasa senang mendengar fatwa terbaru MUI tentang bentuk negara RI, yakni NKRI, sebagai sesuatu yang sudah final.
Saya tidak tahu pasti ke mana tujuan fatwa itu sebenarnya diarahkan. Tapi, fatwa itu penting untuk melihat adanya kelompok-kelompok masyarakat yang memang berusaha secara terang-terangan menggantikan sistem negara Pancasila dengan sistem lain yang asing dari tradisi perpolitikan kita.
Salah satu kelompok itu adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya tidak tahu apakah MUI mengeluarkan fatwa itu untuk menegur HTI. Tapi, kalau MUI konsekwen dengan fatwanya, semestinya HTI adalah organisasi massa pertama yang harus ditegur berkaitan dengan fatwa tentang NKRI itu. Mengapa?
Kita tahu semua bahwa tujuan dan cita-cita akhir HTI adalah mendirikan khilafah di bumi Indonesia. Saya sering berdiskusi dan berada dalam satu sesi dengan tokoh-tokoh HTI. Mereka tidak malu-malu dan tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa khilafah adalah sistem terbaik yang bisa menjadi solusi bagi Indonesia.
Para anggota HTI dengan sabar membangun agenda politik mereka, lewat kampanye dan penggalangan massa di kampus-kampus dan mesjid-mesjid. Secara umum, mereka menolak cara-cara kekerasan, tapi mereka juga menolak demokrasi, karena demokrasi, menurut mereka, adalah sistem taghut (setan) yang tidak sesuai dengan Islam. Bagi mereka, khilafah �dan bukan NKRI- adalah sistem yang sudah final.
Organisasi massa lainnya yang bisa dikatagorikan mengancam keutuhan NKRI adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela Islam (FPI). Kedua organisasi ini, meskipun tidak secara terbuka menyatakan anti NKRI, tapi perilaku dan tingkah-polah politiknya sangatlah bertentangan dan mengancam keutuhan NKRI.
Misalnya, dalam sebuah wawancara di televisi, Fauzan al-Anshary, ketua MMI, membuat pernyataan subversif. Dia mengatakan bahwa Indonesia haruslah berlandaskan syariat Islam. Jika Indonesia menolak dilaksanakannya syariat Islam, sebaiknya NKRI bubar saja. Pernyataan ini sangat berbahaya dan terang-terangan mengancam keutuhan NKRI.
MMI secara umum juga bisa menjadi ancaman bagi NKRI, terutama karena obsesi liarnya untuk mengubah platform negara yang pluralis berdasarkan Pancasila ini dengan syariat Islam. Penerapan syariat Islam telah menjadi agenda utama organisasi pimpinan Abu Bakar Baashir ini. Kita tahu, Baashir pada masa silam adalah salah seorang penantang Pancasila paling gigih.
FPI juga memperlihatkan kecenderungan sama dalam hal ancaman terhadap keutuhan NKRI. Kendati secara retoris ketua FPI berkali-kali bilang bahwa mereka mendukung NKRI, tidak demikianlah kenyataannya. Perilaku politik para anggota FPI dengan merusak dan mengancam warga lain yang dianggap tidak sejalan dengan mereka, merupakan ancaman serius bagi keutuhan negara.
Kesetiaan pada NKRI tidak bisa dinyatakan hanya dengan slogan dan ungkapan. Tapi ia juga harus dibuktikan dengan perilaku. Jika seseorang mengaku mendukung negara kesatuan RI tapi pada saat yang sama terus merongrong sendi-sendi yang paling asasi dari negara ini, itu artinya dia sedang menggerogoti NKRI.
Melihat kenyataan itu semua, saya kira, fatwa MUI tentang NKRI keluar dalam waktu yang tepat. Fatwa itu, saya kira, harus disambut dan disosialisasikan, khususnya kepada kelompok-kelompok Islam yang secara diam-diam (atau mungkin juga tak disadari) sedang menggerogoti integritas NKRI. []

Kenapa Kajian Islam Mandeg?

Oleh Ulil Abshar-Abdalla


Kesan saya, kajian Islam di perguruan tinggi kita mandeg. Akibatnya, yang terjadi hanya repetisi dan daur ulang yang membosankan. Salah satu pendekatan kreatif atas warisan intelektual Islam klasik dipertunjukkan filsuf dan pemikir Maroko, Dr. Muhammad 'Abid al-Jabiri. Tetralogi "Kritik Akal Arab"-nya (Naqd al-�Aql al-�Arabi), merupakan salah satu monumen kajian yang akan dikenang sepanjang masa.


Seorang teman meneruskan �undangan untuk makalah� (call for paper) dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), lembaga kajian Islam warisan Prof. Syed Naguib Alatas yang kini berafiliasi dengan International Islamic University, Malaysia. Lembaga ini akan mengadakan seminar internasional tentang warisan intelektual Ibn Khaldun (1332-1406) pada November akhir tahun ini.
Saya ingin sekali universitas Islam Indonesia mengadakan seminar seperti itu, untuk menggali kekayaan tradisi intelektual Islam klasik. Mungkin saya salah, tapi tampaknya kajian serupa di sejumlah universitas Islam dalam negeri kurang bergairah, kurang mencakup spektrum yang luas, dan kurang mengembangkan pendekatan kreatif.
Di Indonesia saat ini, jarang ada sarjana Muslim yang menguasai cabang-cabang tertentu secara mendalam dan konsisten. Di antara yang sedikit itu, ada Dr. Kautsar Azhari Noer (UIN Jakarta) yang konsisten mengkaji Ibn 'Arabi. Ada lagi Dr. Mulyadi Kertanegara (UIN Jakarta) yang menguasai Ibn Sina dan filsafat Islam klasik. Ada lagi Dr. Muhammad Machasin (IAIN Yogyakarta) yang mengkaji al-Qadli Abdul Jabbar, pemikir penting Muktazilah. Ada Dr. Amin Abdullah (IAIN Yogyakarta) yang mengkaji Al-Ghazali, tapi kurang mengembangkan kesarjaan tentang al-Ghazali.
Itu nama-nama yang saya kenal. Mungkin masih banyak yang luput dari perhatian saya. Kita belum mengenal seorang yang mengkaji, misalnya, al-Ghazali dengan dedikasi tinggi dan pengetahuan yang mendalam seperti Dr. Sulaiman Dunya (Mesir) dan Dr. Michael Marmura (Kanada) yang baru-baru ini menerbitkan �Tahafut al-Falasifah� dalam edisi Inggris.
Kesan saya, kajian Islam di perguruan tinggi kita mandeg. Akibatnya, yang terjadi hanya repetisi dan daur ulang yang membosankan. Salah satu pendekatan kreatif atas warisan intelektual Islam klasik dipertunjukkan filsuf dan pemikir Maroko, Dr. Muhammad 'Abid al-Jabiri. Tetralogi "Kritik Akal Arab"-nya (Naqd al-�Aql al-�Arabi), merupakan salah satu monumen kajian yang akan dikenang sepanjang masa. Al-Jabiri bisa melakukan itu karena mengenal perkembangan teori-teori sosial dan humaniora mutakhir yang berkembang di Perancis. Dia bukan hanya mengerti teori, tetapi secara kreatif memakainya untuk menganalisis sejarah intelektual dan pemikiran serta praktek politik Islam.
Saya ingin menyebut cabang pengetahuan yang penting, yaitu 'ulum al-Qur'an, ilmu Quran. Pengamatan saya, kajian ilmu Qur'an mandeg pada metode dan pendekatan klasik yang telah dikembangkan Al-Suyuthi dalam "al-Itqan", al-Zarkasyi dalam "al-Burhan", dan semacamnya. Karya-karya modern seperti yang ditulis Subhi al-Shalih atau Manna' al-Qatthan, hanya repetisi dari pendekatan klasik dan tidak mengembangkan metode baru. Sarjana Muslim yang mengembangkan pendekatan baru dan kreatif dalam kajian Qur'an sangat sedikit. Di antaranya Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Fareed Essack, Mahmoud Ayoub, dan Abdullah Said (baru-baru ini menerbitkan buku yang cukup penting, "Interpreting Qur'an"). Sayang, orang-orang ini dimusuhi pemikirannya di kalangan perguruan tinggi Islam.
Kemandegan kajian Islam di Indonesia hampir merata di semua cabang. Cabang-cabang "ortodoks" yang mestinya menjadi kajian unggulan pun, tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Kajian fikih, ushul fikih, atau tafsir, juga tak ada terbososan yang penting. Baik di pesantren atau di perguruan tinggi, kajian-kajian itu tak menunjukkan perkembangan berarti. Setelah generasi Imam Nawawi Banten dari abad 19, hingga saat ini, belum pernah ada karya penting yang ditulis orang Indonesia, baik di bidang fikih atau ushul fikih. Tapi dalam tafsir, kita melihat geliat cukup menarik. Sekurang-kurangnya ada dua tafsir penting yang ditulis sarjana Indonesia dalam lima dekade terakhir, yakni tafsir al-Azhar Hamka, dan Al-Mishbah Quraish Shihab. Dari keduanya, tafsir Quraish layak dicatat karena sudah mencerminkan perkembangan mutakhir dalam pendekatan terhadap Qur�an.
Di tengah-tengah kemandegan seperti ini, keadaan kian diperburuk oleh kecenderungan menghakimi pendapat yang berbeda, kadang-kadang sampai ke tingkat "pengkafiran". Menurut saya, perkembangan seperti ini hanya akan membunuh kreativitas dalam perguruan tinggi Islam. Yang menyedihkan, diskursus akademik yang bersifat "spesialis" dihakimi secara demagogis melalui "mimbar awam" seperti khutbah Jumat, ceramah-caramah di majelis taklim, atau lewat majalah-majalah populer seperti Sabili dan Hidayatullah.
Padahal, salah satu syarat penting perkembangan suatu kajian adalah otonomi yang cukup serta kebebasan akademik yang memadai. Jika universitas diintervensi oleh tekanan publik "beriman" karena mengembangkan pendekatan yang tidak ortodoks, atau suara-suara sarjana dihakimi semena-mena menurut standar "keimanan", maka universitas akan mengalami impasse atau kemandegan. []

Alquran Sebagai Wahyu dan Data Sejarah

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya kira, kita perlu membuat pembedaan antara Alquran sebagai wahyu di satu pihak, dan Alquran sebagai data sejarah di pihak lain.
Alquran sebagai wahyu adalah bagian dari keyakinan umat Islam yang tidak bisa diinterogasi secara �ilmiah�. Seorang muslim beriman bahwa Alquran, dengan satu cara: karena diwahyukan oleh Allah. Pada level ini, tampaknya kita relevan memakai perspektif �fideistis� yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard, filsuf Denmark, yang mengatakan bahwa iman adalah suatu �lompatan�. Kita berani �melompat� tanpa didukung oleh bukti-bukti �ilmiah� dan lalu menyimpulkan bahwa benar adanya kitab kami diwahyukan oleh Allah.
Level berikutnya adalah Alquran sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tegah-tengah umat Islam. Ia menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norma dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Pada level inilah, Alquran bisa diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan seterusnya.
Kedua level itu selayaknya tidak dicampuradukkan. Interogasi �ilmiah� atas Alquran sudah selayaknya ditempatkan pada wilayah kajian ilmiah, dan tidak selayaknya dipandang sebagai �pelecehan� pada iman. Pengkajian ilmiah atas Alquran juga tidak selayaknya dianggap sebagai usaha untuk memudarkan iman. Seorang muslim bisa tetap bertahan sebagai seorang beriman yang baik, tetapi pada saat yang sama melakukan interogasi dan pengkajian ilmiah atas Alquran.
Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui pengkajian ilmiah bersifat relatif, karena merupakan hasil dari kerja akal manusia yang terbatas. Ia mengandaikan sejumlah asumsi, dan dengan demikian bersifat kondisional dan provisional. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari sana pun bisa dikoreksi oleh penelitian berikutnya. Sementara iman bersifat sebaliknya. Ia bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat. Iman adalah unconditional submission (kepatuhan tanpa syarat).
Wilayah iman masuk dalam kajian yang secara longgar disebut sebagai �teologi�, sementara kajian atas agama dan kitab suci agama sebagai data sejarah masuk dalam wilayah yang disebut sebagai kajian agama (religious studies). Lahirnya disiplin �kajian agama� mengubah secara signifikan dan radikal cara pandang modern atas agama. (Untuk ini, ada tiga bahan bacaan penting yang layak dirujuk: Robert Cumming Neville, Religion in Late Modernity, Talal Asad, Genealogies of Religion, dan yang terpenting Tomoko Mauzawa, The Invention of World Religion). Agama, dalam kajian modern, tidak melulu dipandang sebagai sekumpulan dogma yang harus diimani, tetapi juga bisa dilihat sebagai fakta sosial sebagaimana fakta-fakta yang lain.
Sebetulnya, perkembangan semacam ini sudah ada benih-benihnya dalam tradisi Islam klasik. Kita mengenal kajian atas Islam sebagai �doktrin dan keimanan�, sebagaimana kita lihat dalam ilmu-ilmu tradisional: tafsir, hadis, kalam, tasawwuf, falsafah, dan sebagainya Tetapi, kita juga melihat kajian agama sebagai fakta sosial, meskipun kurang begitu berkembang dengan baik dalam sejarah intelektual klasik Islam. Kajian semacam itu bisa kita lihat dalam karya penting Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, misalnya. Al-Syahrastani bisa disebut sebagai perintis religious studies dalam Islam. Sayang sekali, kajian semacam ini kurang berkembang dengan baik di dunia Islam saat ini.
Ada perbedaan yang signifikan antara teologi dan religious studies. Yang pertama hendak menegaskan doktrin agama, sedangkan yang kedua hendak menyelidiki agama sebagai fakta sosial tanpa dibebani oleh iman atau tugas untuk mengkonfirmasi ajaran agama. Kesimpulan-kesimpulan yang muncul dalam religious studies bisa, dan bahkan kerap, berseberangan dengan kepercayaan dalam agama bersangkutan, meski tidak selalu demikian.
Perkembangan semacam ini kadang-kadang tidak diantisipasi oleh umat Islam, sehingga menimbulkan sikap-sikap reaksioner yang berlebihan. Misalnya saja pada kasus Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, ilmuwan yang melakukan �interogasi ilmiah� atas Alquran. Ia dituduh �kafir� karena kegiatan ilmiahnya itu. Saya melihat, kasus pengkafiran Abu Zaid paralel dengan sikap Gereja Vatikan yang memberangus pemikiran para perintis sains modern seperti Galileo pada zaman lampau. Wallahu a�lam bissawab.

Tidak ada komentar: