INSAN TAQWA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,INSAN TAQWA ,ADALAH MANUSIA YANG SELALU MELAKSANAKAN AJARAN ALLAH DAN ROSULNYA,PENGUMUMAN BAGI SIAPA SAJA YANG KESULITAN MENGHITUNG HARTA WARIS,TLP.081310999109/081284172971/0215977184 DENGAN BAPAK WAHDAN.SAG

Selasa, 25 Desember 2012

Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
·         Godaan dan rayuan yang berusaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
·         Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui indera manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai persoalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah persoalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan persoalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya persoalan kehidupan selepas mati, amat  menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab persoalan-persoalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah karana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan saja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyarankan  kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama
Beberapa tujuan agama yaitu :
  1. Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
  2. Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
  3. Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
  4. Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.
Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.
Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.
Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.
Di tangan penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang seyogianya diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang ada di organisasi-organisasi Islam semacam MUI. Ulama harus mempu mengembalikan fungsi agama karena Agama bukan benda yang harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati
Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya.
Kategori pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog antara agama. Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua penceramah, TIDAK bermaksud menyamaratakan semua agama dalam konteks ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak mungkin semua agama itu sama!
Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan ia sebagai hablun minannaas.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbedaan yang berlaku di antara manusia bukan saja meliputi perbedaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan.
Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai.



fungsi agama bagi kehidupan manusia



Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
·         Godaan dan rayuan yang berusaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
·         Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui indera manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai persoalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah persoalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan persoalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya persoalan kehidupan selepas mati, amat  menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab persoalan-persoalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah karana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan saja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyarankan  kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama
Beberapa tujuan agama yaitu :
  1. Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
  2. Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
  3. Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
  4. Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.
Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.
Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.
Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.
Di tangan penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang seyogianya diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang ada di organisasi-organisasi Islam semacam MUI. Ulama harus mempu mengembalikan fungsi agama karena Agama bukan benda yang harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati
Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya.
Kategori pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog antara agama. Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua penceramah, TIDAK bermaksud menyamaratakan semua agama dalam konteks ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak mungkin semua agama itu sama!
Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan ia sebagai hablun minannaas.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbedaan yang berlaku di antara manusia bukan saja meliputi perbedaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan.
Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai.



Minggu, 13 November 2011

Metode Memahami Islam dengan benar


Bottom of Form

Metode Memahami Islam dengan benar
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman dalam surat Al-Maidah 3, yang artinya: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikamat-Ku dan telah Ku ridhai islam sebagai agamamu.”
Ibnu Katsir dalam mengomentari ayat ini mengatakan, bahwa ini (islam) adalah nikmat terbesar Allah ‘Azza wa Jalla atas ummat ini, dimana Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini untuk mereka. Maka mereka tidak lagi membutuhkan agama lagi selain islam dan kepada nabi selain Rasulullah saw. Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan Muhammad saw sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau saw kepada manusia dan jin. Maka tidak ada lagi penghalalan kecuali apa-apa yang telah beliau halalkan, dan tidak ada lagi pengharaman kecuali apa-apa yang telah beliau saw haramkan, dan tidak ada lagi yang merupakan bagian dari agama kecuali dengan apa-apa yang beliau syari’atkan. Semua yang beliau saw sampaikan adalah benar dan tidak ada kedustaan sedikitpun.
Dengan ayat ini pula Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakan iman seseorang mukmin sehingga mereka tidak lagi membutuhkan penambahan atau pengurangan terhadap syari’at agama ini selamanya.
Kalau hal ini dipegang oleh seorang muslim, niscaya tidak akan muncul berbagai bid’ah dan perpecahan dalam agama ini yang menyebabkan kita memahami islam tidak seperti apa yang dikehendaki oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya saw.
Selanjutnya akan muncul pertanyaan, bagamana manhaj (metode) dalam mempelajari, memahami dan mengamalkan Islam secara benar? Jawabannya adalah jika manhaj atau metode yang kita tempuh sesuai dengan hal-hal berikut ini:

Kitabullah/Al-Qur’anulKarim
Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Al-An’am: 155, yang artinya: “Dan Al-Qur’an ini adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat.”
Sabda Rasulullah: “Sesungguhnya aku tinggalkan bagimu dua perkara, salah satunya adalah Kitabullah (Al-Qur’an) yang merupakan tali Allah ‘Azza wa Jalla. barang siapa yang mengikutinya maka ia berada di atas hidayah dan barang siapa ynag meninggalkannya berarti ia dalam kesesatan.” (HR. Muslim). Maka golongan yang pemahamannya dan amaliyahnya benar ialah yang senantiasa mendasarkan diri kepada Al-Qur’an . dan mereka juga tidak pernah melakukan penetangan terhadap Al-qur’an baik dengan dalil logika, perasaan, perkataan Syaikh, akal, kasyaf (perasaan dapat melihat sesuatu di luar kemampuan manusia biasa dalam alam ghaib,pent),kata hati dan yang serupa dengannya.
As-Sunnah yang shahih dari Rasulullah saw
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memahami dan mengamalkan Al-qur’an kita memerlukan As-Sunnah yang berisi penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat global. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “dan kami telah menurunkan kepadamu Az-zikr (al-qur’an), agar kamu (Muhammad) menerangkan kepada ummat Manusia terhadap apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka memikirkan” (QS. An-Nahl: 44)
Pada hakekatnya segala sesuatu yang diucapkan Rasulullah saw juga merupakan wahyu yang diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga wajib bagi kita untuk mentaati segala perintah beliau saw dan menjauhi larangannya.
Mentaati Rasulullah saw berarti mentaati Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini sesuai dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Barang siapa yang mentaati rasul, maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah ‘Azza wa Jalla. Dan barang siapa yang berpaling dari (ketaatan itu), maka kami tidak akan mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (Qs. An-Nisa: 80). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “apa yang diberikan rasul kepaamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah” (Qs. Al-Hasyr: 7).
Atsar (jejak) para sahabat
Para sahabat adalah orang-orang yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah saw. Mereka yang lebih tahu tentang sebab-sebab turunnya ayat tersebut. Tidak heran bila Rasulullah saw menobatkan mereka sebagai generasi terbaik sebagaiman sabda beliau :”sebaik-baik Manusia adalah generasiku (para sahabatku)…”. (HR. Bukhari-Muslim).
Allah ‘Azza wa Jalla juga telah memberikan keridhaan-Nya ‘Azza wa Jalla kepada mereka sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:”orang-orang yang dahulu lagi pertama-tama masuk islam dari kalangan muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah janjikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya. Mereka kekal didalamnya selama-lamanya itulah kemenangan yang besar”. (Qs. At-Taubah: 100).
Jika Allah ‘Azza wa Jalla sudah ridha kepada mereka, pasti mereka adalah orang-orang yang benar dan selamat. Maka jika kita ingin selamat, kita juga harus mengikuti mereka dalam setiap sisi kehidupan kita, baik dalam hal aqidah, ahlaq, ibadah maupun muamalah.
Sebagaimana keselamatan itu juga dijamin oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan semuanya dineraka kecuali satu. Mereka (para sahabat) bertanya siapa itu golongan itu wahai Rasulullah saw? Jawab Beliau siapa saja yang seperti keadaanku dan para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, hadits hasan)
Beliau saw juga memerintahkan: “barang siapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin setelahku. Peganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu” (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Atsar (Jejak) Para Tabiin Dan Tabi’ut Tabi’in
Tabi’in adalah murid para sahabat, sedangkan tabi’ut tabi’in adalah murid para tabi’in. mereka ini bersama sahabat dikatakan sebagai tiga geneasi terbaik. Rasulullah saw bersabda: sebaik-baik Manusia adalah generasiku(sahabatku) kemudian yang datang setelah mereka (tabi’in), kemudian yang datang setalah mereka (tabi’ut tabi’in). (HR. Bukhari-Muslim).
Tabiin dan tabi’ut tabi’in yang shalih dan utama tidak pernah mengajarkan dan menganjurkan memahami dan mengamalkan islam melainkan apa-apa yang sudah paten dari Al-qur’an dan sunnah Nabi, dengan tanpa menambah dan mengurangi.
Dari apa-apa yang telah diuraikan secara ringkas tadi, akhirnya kita mendapatkan jawaban sekaligus solusi dari pertanyaan: kenapa dalam islam terdapat banyak golongan atau faham yang masing-masing mereka mengaku berpedoman pada Al-qur’an dan sunnah dengan hawa nafsu atau logika dan perasaannya sendiri-sendiri. Dan solusi dari semua ini adalah mengembalikan lagi pemahaman islam kita pada apa-apa yang difahami oleh salafus-shalih, yaitu tiga generasi prtama ummat ini sebagaimana yang tersebut pada hadits diatas (yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). semoga Allah senantiasa memudahkan langkah kita untuk selalu berjalan diatas jalan mereka. Amin.