INSAN TAQWA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,INSAN TAQWA ,ADALAH MANUSIA YANG SELALU MELAKSANAKAN AJARAN ALLAH DAN ROSULNYA,PENGUMUMAN BAGI SIAPA SAJA YANG KESULITAN MENGHITUNG HARTA WARIS,TLP.081310999109/081284172971/0215977184 DENGAN BAPAK WAHDAN.SAG

Senin, 27 Desember 2010

PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HISTORIS PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM(KAJIAN TURATS )
I.                   Prolog
Belajar pada sejarah, berarti belajar pada realitas yang terjadi pada nenek moyang kita dengan berbagai tantangan dan perjalanan waktu yang mereka lewati di muka bumi1. Kita adalah ahli waris sejarah. Karena sejarah akan kembali terulang. Bisa kita ambil pelajaran tentang bagaimana problem para pendahulu kita, berikut solusi serta harapan bagi generasi penerus. Begitu juga dengan Islam, ajarannya yang komprehensif dan universal tidak akan terlepas dari usaha para pendahulu yang telah menuliskan tinta emas sejarah panjang dan mengisi perjalanan waktu ini dengan berbagai prestasi gemilang dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Mulai dari pertama lahir hingga saat ini ajaran Islam tetap terjaga kemurniannya.  Seperti yang telah disebutkan diatas, itu semua berkat usaha dan catatan sejarah emas para kaum muslimin pendahulu. Hampir semua disiplin ilmu dalam Islam, tak terkecuali hukum atau syari'at akan dapat kita temukan akar sejarah. Baik perkembangan maupun latar belakang serta pengkodifikasian yang bisa kita jadikan acuan dalam menimba ilmu-ilmu ulama terdahulu. Disini, kita akan mencoba menguraikan sejarah singkat dan perjalanan syari'at sebagai pijakan utama dalam beragama.
 
Hukum, norma, atau apa saja istilahnya adalah sebuah keharusan dalam komunitas baik yang tertulis maupun sebatas adat istiadat dan kebiasaan. Sejarawan Ibnu Khaldun dalam bukunya "Muqaddimah" menegaskan bahwa manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial yang harus punya komunitas, bersama-sama membangun masyarakat taat hukum. Dengan demikian, Islam sebagai agama komprehensif harus tampil sebagai garda terdepan dalam membangun masyarakat taat hukum. Apakah pembentukan hukum oleh al-Syari' dalam masyarakat Islam tanpa proses dan pergulatan sama sekali ?.  Allah Swt membentuk hukum Islam sudah pasti memerlukan proses panjang sehingga bisa menciptakan masyarakat madani abad 1 hijriyah.  Proses pembentukan hukum dalam Islam sangat penting sekali, mengingat bangsa Arab pra-Islam adalah masyarakat tak mengenal hukum keadilan, suka perang dan chauvinisme-nya tinggi.  Sehingga taklif terhadap mereka yang masuk Islam tidak terlalu berat dan masuk akal2.  Sampai mereka tersentuh akal sehatnya dengan sendiri, setelah itu Rasulullah Saw baru berani untuk mengharamkan secara total minuman keras yang sangat disukai bangsa Arab.  Rasulullah Saw sebagai pelaku sejarah dan pembentuk hukum Islam patut kita agungkan berkat pendekatan psikologi beliau terhadap kaum muslimin.  Menjadikan Islam sebagai agama masuk akal.     

Jika maksud mempelajari hukum Islam dalam persepektif historisnya sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, maka kita harus mengetahui tentang definisi, piranti, ijtihad, qawa'id fiqh , tujuan dan pelajaran yang dapat kita petik dari ilmu tarikh tasyri'. Perlu dicatat bahwa mempelajari tarikh tasyri' juga berarti harus mengetahui ilmu fikih dan perjalanannya dari masa ke masa 3. Hingga menjadikan ilmu tarikh tasyri' sebagai titik tolak menuju ilmu fikih yang bisa menjadikan umat Islam menuju golden era mengulang sejarah para salaf al-shalihin dan mampu dijadikan sebagai pegangan dalam beragama di masa kontemporer tanpa harus kaku dan tetap melihat realita serta pendapat ahli disiplin ilmu lain ( baca: ijtihad kolektif ). Disinilah letak pentingnya tarikh tasyri' sebagai diiplin ilmu tersendiri yang menguraikan tentang sejarah, awal mula dan perkembangan ilmu fikih dari masa Rasulullah Saw sampai saat ini, berikut ijtihad para fuqaha, tentang nasakh-mansukh hingga sejauh mana peran sosial dan politik dalam mempengaruhi hukum produk ijtihad ulama dahulu. Akan lebih menarik lagi jika kita korelasikan antara produk ijtihad para Sahabat RA dalam masalah fikih yang berbeda-beda hingga dapat dapat merambah ke masalah politik dan teologi. Terlebih paska insiden dan fitnah yang mengakibatkan wafatnya khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib RA, serta pecahnya umat Islam menjadi tiga golongan Jumhur Al-Muslimin, Syi'ah dan Khawarij.

II.    Bangsa Arab Pra-Islam.
Islam lahir di semenanjung bangsa dan berbahasa Arab. Oleh karena itu perlu kita cermati bersama tentang latar belakang masyarakat yang akan mengemban amanat untuk menegakkan dien al-haq sehingga bisa diukur sejauh mana pengaruh bangsa Arab pra-Islam dalam mengarungi proses pembentukan hukum atau syari'at Islam abad pertama hijriyah. Karen Amstrong dalam bukunya "The  Story of God" menyebutkan bahwa, Selama berabad-abad suku-suku Badui di wilayah Hijaz dan Najd hidup dalam persaingan keras satu sama lain untuk memperebutkan kebutuhan-kebutuhan hidup dasar. Untuk membantu memupuk semangat hidup bersama yang penting bagi kelangsungan hidup kelompok, bangsa Arab mengembangkan ideologi yang dikenal sebagai "muru'ah"4, yang dalam banyak hal berfungsi sebagai agama. Ada suatu tradisi meyembah patung, karena mereka adalah penganut paganisme.  Bangsa Arab memuja patung-patung itu di tempat ibadah mereka, tetapi mereka tidak mempunyai suatu mitologi yang menjelaskan relevansi "Tuhan-Tuhan" dan tempat-tempat keramat ini dalam kehidupan rohani mereka. Para sejarahwan sering menerjemahkan "muru'ah"  sebagai "semangat kelaki-lakian", tetapi istilah itu mempunyai makna jauh lebih luas: istilah itu berarti keberanian berperang, kesabaran dan tahan uji dalam penderitaan, dan pengabdian mutlak kepada suku. Kebijakan "muru'ah" menuntut seorang Arab untuk menaati pemimpinnya dengan segera, tanpa menghiraukan keselamatan dirinya sendiri; dia harus mengabdikan diri suku untuk membalas setiap kejahatan terhadap suku mereka dan melindungi anggota-anggota suku yang lebih lemah. Untuk menjamin kelangsungan hidup suku, sang pemimpin membagi kekayaan dan harta benda suku secara adil, dan membalas kematian seorang anggota sukunya dengan membunuh seorang anggota suku si pembunuh. Begitu seterusnya dan tidak akan berhenti.
Jazirah Arab ketika itu juga berada di posisi yang strategis dan berbatasan dengan imperium Romawi di barat laut dan imperium Persia di tenggara. Akibatnya, bangsa Arab menjadi lahan perebutan dua imperium besar yang menguasai dunia kala itu. Apalagi Arab terkenal dengan suku Quraisy-nya sebagai pedagang tangguh. Pasar Makkah dan hubungan dagang bangsa Arab dengan bangsa lain seperti Syam, Iraq dan Yaman membuat bangsa Arab lebih dikenal oleh para penguasa Romawi dan Persia5.  Akulturasi budaya dan ideology dikalangan bangsa Arab dengan Negara-negara tetangganya semakin marak, terutama setelah Islam lahir. Setelah bangsa Arab terbangun dan mulai belajar. Pada zaman Rasulullah Saw sudah ada mata uang logam yang di keluarkan oleh dinasti Sasaniah Persia. Bangsa Arab semakin lebih merasa tertinggal dalam membangun idealisme setelah mereka mengenal Islam, filsafat dan ilmu mantiq dari yunani. Hal ini bisa dimaklumi karena masyarakat Arab tidak mempercayai hidup setelah mati, apalagi angka kematian bangsa Arab sangat tinggi akibat perang antar suku, membuat mereka seperti tak lagi memikirkan masa depan. Selama fase terakhir masa pra-Islam, yang kita sebut sebagai masa "jahiliyyah" tampaknya terdapat suatu rasa ketidakpuasan dan kegelisahan spiritual yang meluas. Bangsa Arab dikelilingi di semua sisi oleh dua kerajaan besar: bani Sassaniah di Persia, dan Byzantium Romawi. Ide-ide "modern" mulai masuk ke Arab dari daerah-daerah yang berpenduduk menetap; para saudagar yang bepergian ke Syria atau Irak membawa pulang cerita-cerita tentang peradaban yang menakjubkan. Di pihak lain, tampaknya bangsa Arab akan terpuruk terus dalam kebiadaban. Suku-suku terlibat dalam perang terus-menerus, yang tidak memungkinkan mereka menyatukan sumber daya yang sudah sedikit itu dan menjadi bangsa Arab bersatu yang samar-samar mereka mimpikan.
Arab pra-Islam adalah jahiliyyah, masa kegelapan dan sepertinya tak akan lagi menemukan idealisme hidup di dunia. Seperti dituturkan Ibnu Khaldun, bahwa mereka adalah bangsa yang tak mungkin bisa maju, nomaden dan selalu berkompetisi antar satu sama lain untuk menjadi pemimpin. Maka, untuk bisa menjadi pemimpin hanya melalui agamalah satu-satunya cara, di utus sebagai Nabi, luasnya daerah kekuasaan atau pemuka agama yang paling disegani6.

III.    Pembentukan Hukum (Tasyri') Pada Masa Rasulullah Saw.
Ada perbedaan antara istilah Qanun dan Syari'ah yang kalo kita terjemahkan ke bahasa Indonesia adalah sebuah sinonim yang berarti hukum. Menurut para ulama kalimat Qanun adalah bahasa serapan dari Yunani dan khusus untuk hukum yang bersifat konvensional, buatan manusia dan sementara. Sedangkan Syari'at yang juga berarti hokum hanya untuk semua aturan yang datangnya dari Allah Swt dan bersifat kekal. Al-Syari' yang dalam hal ini Allah Swt menuangkan semua hukum Islam dalam Al-Qur'an dan melalui Rasul-Nya menetapkan garis batas haluan Islam dalam Hadits. Inilah yang menjadi mashadir utama dalam ajaran Islam pada zaman Rasulullah Saw hingga hari akhir. Pada masa Rasulullah Saw, pembentukan hokum adalah sebagai titik awal menuju hokum Islam yang universal. Dimana tidak ada perbedaan pendapat apalagi pertikaian antar suku. Begitu sangat berpengaruhnya Rasulullah Saw dalam membangun pondasi Islam. Agar lebih mudahnya, ada beberapa poin penting sebagai asas dalam pembentukan hokum pada masa kenabian yang akan tetap terjaga kemurniannya hingga hari akhir.
A.          'Adam Al-Kharaj (Tidak menyusahkan).7
وما جعل عليكم فى الدين من حرج (سورة الحج :38
يريد الله أن يخفف عنكم وخلق الأنسان ضعيفا (سورة النساء 28
B.           Taqlil Al-Takalif. (Beban yang sedikit)8

يأيها الذين أمنوا لا تسألوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤكم وإن تسألوا عنها حين ينزل القرآن تبد لكم عفا الله عنها والله غفور حليم * قد سألها قوم من قبلكم ثم أصبحوا بها كافرين (المائدة 101-102)

C.    Al-Tadrij Fii Al-Tasyri' (Secara berangsur-angsur).
 Hal ini tercermin dalam penetapan hukum haram mutlak bagi khamr atau minuman keras yang berangsur-angsur dan tidak secara spontan. Karena, bagi bangsa Arab minuman keras adalah kebiasaan yang sangat lumrah dan tidak bisa ditinggalkan. Secara berurutan, Al-Qur'an mengajak dialog dan membuka pikiran bangsa Arab tentang manfaat serta dosanya dengan ayat tentang Khamr yang pertama: 9
قل فيهما إثم كبير و منافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما
Ayat diatas belum ada ketegasan haram untuk megkonsumsi Khamr. Untuk kedua kalinya Al-Qur'an melarang shalat dalam keadaan mabuk10.
يأيها الذين أمنوا لا تقربوا الصلاة و أنتم سكاري حتى تعلموا ما تقولون
Untuk ketiga kalinya Al-Qur'an secara tegas mengharamkan Khamr secara mutlak dan tidak ada dispensasi atau waktu khusus yang diperbolehkan untuk mengkonsumsi Khamr dengan turunnya ayat berikut:11
يأيها الذين أمنوا إنما الخمروالميسروالأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون * إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء فى الخمروالميسرويصدكم عن ذكرالله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون  
 
Ijtihad shahabat pada zaman Risalah juga dibenarkan. Baik ketika di hadapan Rasulullah Saw maupun ketika jauh dari Beliau. Seperti ketika Sa'ad bin Muadz yang menghakimi bani Quraidzah dengan hukum mati, Rasulullah Saw membenarkan produk ijtihad Sa'ad bin Mu'adz12.  Ketika Shahabat Mu'adz bin Jabal di utus ke Yaman pun akan melakukan ijtihad jika tidak menemukan solusi bagi permasalahan yang tidak ada jawabannya dalamAl-Qur'an dan Hadits. Rasulullah Saw bersabda kepada Ibnu Mas'ud:
 إقضى بالكتاب والسنة إذا وجدتهما: فإذا لم تجد الحكم فيهما إجتهد رأيك
Imam Ibnu Hazm juga menceritakan bahwa pada zaman Raulullah Saw para Shahabat sering berpendapat sesuai dengan pemikiran dan ijtihad mereka, kemudian Rasulullah Saw sendiri yang menilai, apakah ijtihadnya dibenarkan atau tidak menurut Islam. Dalam konsep lain ada dua periode Tasyri' pada zaman Rasulullah Saw:
Pertama, periode Makkah, seperti halnya tahap dan tingkat intelektualitas masyarakat Arab kala itu, proses Tasyri' di Makkah lebih terkesan dititik beratkan pada masalah aqidah, tauhid, keimanan dan masalah lain yang fundamental dalam Islam13.   Pada periode ini, Al-Qur'an melarang kaum muslim untuk berbuat syirik, zina, dzalim, memakan harta anak yatim, israf, melacur, menyembelih hewan untuk berhala, mengurangi timbangan dan membunuh. Selanjutnya, dalam masalah ubudiyyah Al-Qur'an baru menyinggung perintah untuk shalat, infaq dan berbuat baik. Tidak lebih dari itu. Disisi lain, bangsa Arab diajak berkontemplasi dengan alam, tentang penciptaan langit, bumi dan seisinya serta keindahan Al-Qur'an. Hingga pada titik klimaksnya mereka akan mampu menerima segala ajaran Islam dengan pikiran terbuka dan matang.  
Kedua, periode Madinah, sejatinya fase madinah adalah kelanjutan dan proses penyempurnaan dari periode sebelumnya. Akan tetapi disini Rasulullah Saw merintis konsep baru yang bisa lebih membangun masyarakat madani berwajahkan Islam. Mengatur konsep kehidupan masyarakat yang patuh terhadap hukum dan batasan-batasan yang sesuai dengan Islam. Di Madinah sendiri ada 4 kelompok masyarakat yang menghimpun tatanan masyarakat menetap, bukan nomaden. Yaitu kaum Muhajirin, Anshar, Munafiq dan Yahudi14.  Sedari Awal, Rasulullah Saw sudah mengingatkan kepada penduduk Madinah untuk saling menghormati. Beliau bersabda: 15
ليس منا من دعا إلى عصبية وليس منا من مات على عصبية وليس منا من قاتل على عصبية
Pada periode ini, Allah Swt mensyari'atkan puasa, zakat, haji, umrah, jihad, qishas, menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba, mengatur hukum pernikahan, kehidupan berumah-tangga, hukum warisan, tahanan dan harta rampasan perang, menetapkan batasan hukuman zina, mencuri   dan semua ubudiyyah wa mu'amalah yang belum di syari'atkan pada fase sebelumnya16
IV.              Periode Sahabat Ra (11 H- 40 H). 
Setelah Rasulullah Saw wafat tahun 11 H kaum Muhajirin dan Anshar berbeda pendapat tentang siapa yang akan menggantikan Rasulullah Saw, mereka saling mengklaim paling berhak. Kaum Anshar langsung mencalonkan Sa'ad bin Ubadah dari Bani Khazraj sebagai Kalifah. Kemudian Shahabat Umar Ra dan Abu Ubaidah bin Al-Jarah bergegas untuk melantik Abu Bakar Ra sebagai Khalifah setelah sebelumnuya berdebat dengan kaum Anshar dan akhirnya smua penduduk Madinah ikut melantik Abu Bakar Ra sebagai penganti Rasulullah Saw. Dari sini umat Islam menemui babak baru dimana Islam sudah menyebar hampir diseluruh jazirah Arab. Tantangan kahlifah Abu Bakar Ra semakin berat tatkala sebagian golongan menolak untuk menunaikan zakat17.   Umat Islam mencapai kejayaannya, tapi setelah kekhalifahan dipegang Utsman Bin Affan Ra, dimana kekayaan Negara melimpah terjadi perselisihan besar antara sesame umat Islam. Lantaran hampir semua jabatan dikuasai bani Umayyah. Sangat disesalkan, ketika Islam sudah memiliki wilayah yang sangat luas, perbedaan pandangan politik dan chauvinisme yang mulai bangkit kembali, mampu merusak tatanan masyarakat. Hingga wafatnya Khalifah Utsman bin Affan disusul Ali bin Abi Thalib Ra serta terbaginya umat Islam menjadi 3 golongan: Jumhur Al-Muslimin, Syi'ah dan Khawarij. Hal ini sangat berpengaruh sekali pada pembentukan hukum dalam Islam. Perbedaan partai mampu merasuk jauh dalam ber-Ijtihad dan ber-Istinbath. Sudah barang tentu akan menghasilkan produk yang berbeda pula. Dari sini sangat menarik untuk kita cermati, bahwa ladang ijtihad mulai dibuka seiring dengan semakin luasnya kekuasaan Islam. Diperlukan gubernur dan qadli yang ditempatkan di wilayah tertentu. Agar lebih mudah mengatur wilayah yang jauh dari khalifah dan pusat pemerintahan.
Proses pembentukan hukum pada masa Khulafa Al-Rasyidun lebih di pusatkan pada kodifikasi Al-Qur'an sebagai sumber hukum utama pada waktu itu, mereka belum memiliki inisiatif untuk membukukan hadits disamping mereka adalah sumber utama dalam pengungkapan ajaran Islam yang tertuang dalam ucapan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Saw. Dan ijtihad sangat berperan penting dalam tasyri' menuju hukum yang ideal. Mengingat banyak permasalahan baru yang tidak ditemukan solusinya dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga banyak perbedaan pendapat dikalangan shahabat. Contoh sedikit tentang perbedaan pendapat antar Shahabat adalah tentang hukuman bagi peminum Khamr, Shahabat Ali Ra berpendapat bahwa hukuman untuk peminum Khamr adalah 40 kali jilidan seperti yang dilakukan khalifah Abu Bakar Ra. Ini menjadi semacam garapan ijtihad, karena Rasulullah Saw sendiri tak pernah memberikan batasan tertentu untuk peminum khamr. Sehingga pada masa Umar Ra menjadi Khalifah, Khalid bin Walid meminta pendapat tentang perlunya ditinjau kembali hukuman peminum khamr karena banyak kaum muslimin yang meminum-minuman keras dan meremehkan hukuman jilid 40 kali18.  Akhirnya, Shahabat Abdurrahman bin Auf memberikan usul kepada khalifah agar memukul peminum khamr sebanyak 80 kali, sebagai batas minimal. Ini adalah hasil ijtihad yang pasti harus melalui musyawarah, apalagi dalam urusan Negara. Karena pada dasarnya, ijtihad kental dikalangan ulama ushul fikih sebagai istilah untuk sebuah juhud atau usaha semaksimal mungkin untuk dapat menentukan hukum syar'I (Istinbath) melaluihujjah yang harus detail dan sejalan lurus dengan dalil syar'I yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah19,  dengan catatan terbatas pada masalah yang tidak ada teks pastinya dalam mashadir al-Tasyri' diatas. Baik ketika ada pertanyaan dari kaum muslimin ataupun tidak ada pertanyaan. Berbeda dengan fatwa, sebuah produk ijtihad yang hanya ketika ada pertanyaan saja. Maka, diperlukan seorang mufti untuk menjawab pertanyaan yang hukumnya masih bersifat dzanni. Ditinjau dari kacamata problem yang dihadapi sendiri, ulama ushul fiqh membagi garapan ijtihad menjadi dua macam: pertama hukum paten (qat'iy) yang tidak lagi memerlukan ijtihad. Karena hukumnya sudah pasti dan tidak mungkin di rubah lagi. Seperti shalat yang harus ditunaikan dalam keadaan apapun, jika dalam keadaan terpaksa harus tetap qadla dan tidak ada alasan boleh meninggalkan shalat. Kedua hokum dzanniy yang masih memerlukan ijtihad. Dalam hal ini, ilmu fikih adalah garapan penting dalam berijtihad, Karen fikih termasuk dalam kategori hokum dzanniyah 'amaliyah. Sedangkan masalah aqidah, tauhid dan teology tidak termasuk bagian dari lahan ijtihad. Karena termasuk dalam kategori hokum dzanniyah ghoru 'amaliyah bal I'tiqadiyah. Seperti iman kepada Allah Swt, hari akhir, percaya kepada Al-Qur'an dll20
Hal ini kembali ditegaskan secara seksama oleh Al-Sayyid Sabiq21,   Bahwa hal-hal yang bersifat pasti dan tetap menurut  perkembangan zaman  dan  tempat,  seperti  'aqa'id dan 'ibadat, dijelaskan secara penuh dan  terperinci,   dengan   disertai   oleh nash-nash   yang   bersangkutan;   maka  tidak  seorang  pun dibenarkan untuk menambah atau mengurangi hokum yang sudah Qat'iy. Tetapi yang dapat menyesuaikan dan berkembang menurut  pergantian  zaman  dan  tempat,  seperti berbagai kepentingan  kemasyarakatan   (al-mashalih   al-madaniyyah), urusan politik dan peperangan, diberikan pintu ijtihad dengan bermusyawarah. agar sinkron dengan kepentingan manusia di  semua  zaman dan  agar  dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Suatu saat Nabi pernah mempunyai suatu pendapat,  tapi  Beliau urungkan usulannya lantaran pendapat para shahabat lebih baik,  sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Khandaq. Adapun syarat umum bagi seorang mujtahid menurut Imam Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah Fi Al-Siyasah Wa Al-Aqa'id Wa Tarikh Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut:
1.             Paham bahasa Arab dengan pemahaman yang sempurna. Berikut ilmu nahwu, sharf, balaghah, furuq lughawiyyah dan gramatikal bahasa Arab yang lain.
2.             Mengetahui ilmu yang tersirat dan tersurat dalam Al-Qur'an. Dalam persepektif Syafi'iyyah, batas minimal untuk bisa dikatakan memahami Al-Qur'an adalah hafal Al-Qur'an penuh, beserta tajwid, fashahah, paham maksud dan maknanya, tahu tafsir yang shahih (Bil Ma'tsur) langsung dari hadits dan Qaul Shahabiy, mengerti Asbab Al-Nuzul dan hikmah diturunkannya. 
3.             Hafal hadits. Imam Mujtahid harus hafal dan berkompeten dalam menguasai seluruh teks hadits serta maknanya dan mengetahui Asbab Al-Wurud nya. Selanjutnya seorang mujtahid juga ditekankan untuk menguasai ilmu-ilmu hadits. Seperti Naskh, hafal sanad, mengetahui biografi dan kualitas perawi hadits, menguasai ilmu Al-Jarhu Wa Al-Ta'dil. Beserta ilmu-ilmu lain dengan pemahaman yang mendetail.
4.             Paham tentang hokum fikih yang telah disepakati oleh para ulama (Ijma') dan hokum yang masih terdapat khilaf diantara para fuqaha.
5.             Ahli dalam bidang Qiyas. Secara garis besar berarti studi komparatif antara hokum furu' dengan ushul melalui perbandingan terhadap sifat dan 'illatnya untuk menentukan hokum furu'.
6.             Paham tentang maksud, tujuan dan hikmah adanya syari'at Islam serta mengerti tentang tujuan diutusnya Rasulullah Saw.
7.             Baik dan benar dalam memahami hokum syari'at agar dapat mengeluarkan produk hokum demgan hujjah yang tepat agar terhindar dari kesalahan.
8.             Keikhlasan niat dan aqidah yang benar adalah pijakan dasar dalam berijtihad.

V.    Periode Tabi'in & Tabi' Al-Tabi'in.
Tahun  40  Hijriah  adalah  batas  pemisah  antara kemurnian   Sunnah  dari  kebohongan  dan pemalsuan. Malahan disatu pihak hadits-hadits yang tidak jelas atau dipalsukan rawi-nya (asal comot) serta    digunakannya   sebagai   alat   melayani   berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah  perselisihan  antara  'Ali Ra  dan  Mu'awiyah Ra  berubah menjadi peperangan dan yang  banyak  menumpahkan  darah  dan mengorbankan   jiwa.  Sebagian  besar orang-orang Muslim memihak 'Ali Ra dalam perselisihannya dengan Mu'awiyah Ra, sedangkan kaum Khawarij menaruh  dendam  terhadap 'Ali Ra  dan  Mu'awiyah  sekaligus  setelah  mereka sendiri sebelumnya  merupakan  pendukung  'Ali Ra  yang   bersemangat. Setelah   'Ali   Ra.   wafat   dan   Mu'awiyah  habis  masa kekhilafahannya (juga wafat), para keturunan Nabi Saw  (Ahl al-Bayt)  bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan  taat pada Dinasti Umayyah. Pertentangan ini kemudian merambah ke masalah keagamaan, yang kelak mempunyai  pengaruh lebih  jauh bagi  tumbuhnya  sekte-sekte keagamaan dalam Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya  dengan  al-Qur'an  dan Sunnah. Maka  sebagian aliran dalam Islam melakukan interpretasi al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash  Sunnah  pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi menisbatkan hadits-hadits bikinan mereka untuk  menguatkan posisi mereka dihadapan aliran lain, setelah  hal  itu  tidak  mungkin  mereka  lakukan  terhadap al-Qur'an sebagai kitab suci yang ma'shum dari segaala kesalahan. Dihadapkan keruwetan  seperti itu,  para  Tabi'in  -dengan  dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan intelektualitas lebih mapan- mencoba melakukan sesuatu yang  amat  berat  namun  kemudian membuahkan  hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan Hukum  Islam  melalui  fiqh  atau  "proses  pemahaman"  yang sistematis. Dalam bidang fikih  seperti  juga  dalam  bidang-bidang  yang lain,   masa  Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi Saw dan masa tampilnya imam-imam  madzhab.  Di  satu  pihak masa  itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi Saw, di lain pihak pada  masa  itu  juga  mulai  disaksikan munculnya  ulama-ulama  dengan sikap yang secara tidak langsung lebih mandiri, dengan tingkat intelektualitas  di  bidang  keahlian yang lebih mengarah pada spesialisasi.
V.                 Dinasti Umawiyyah (40 H-132 H).
Pada zaman para  sahabat  Nabi Saw banyak ulama,  yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi sejak  pertikaian  politik  pada  penghujung  kekhalifahan 'Utsman Ra, tanda-tanda     menyebar dan berselisihnya,  tempat  rujukan  itu  sudah  mulai   nampak. Penyebaran  dan  perselisihan  otoritas  itu  memuncak  pada sekitar  sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini terjadi  tanpa  peduli  dengan  sambutan sebagian besar umat Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun  Persatuan"  atau "Tahun  Solidaritas" ('Am al-Jama'ah)22,  sebab "persatuan" dan "solidaritas" itu  agaknya  hanya  terbatas  pada  kenyataan kembalinya  kesatuan  politik  (formal)  umat Islam di bawah Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. Ada dua fenomena menarik  pada zaman dinasti Umawiyyah yang sama-sama memberikan kontribusi besar pada konsep pembentukan hukum Islam.
Pertama: madzhab Ahlu Al-Hadits Di Hijaz. Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap, menyampaikan   seruannya,   kemudian   para  Sahabat  Beliau menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda  Beliau  dan menerapkannya.  Dan  (Hijaz)  tetap  menjadi  tempat tinggal banyak dari  mereka  (para  Sahabat)  yang  datang  kemudian sampai Beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui  kepada  penduduk  (berikut)-nya,  yaitu kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana. aliran  ini cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal  penentuan hokum fikih, karena hanya  bersandar  kepada bukti-bukti atsar (peninggalan, tradisi  atau  Sunnah)  dan  nash-nash yang sharih (jelas).
Kedua: madzhab Ahlu Al-Ra'yi di Kufah, Iraq. Aliran   yang   cenderung   pada kelonggaran  dan  bersandar atas penalaran, qias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum  dan  alasan-alasannya,  sebagai dasar   ijtihad. Berbeda dengan Hijaz, Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, system pemerintahannya,  kompleksitas   kehidupannya,   dan   tidak mendapatkan  bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat dan Tabi'in yang pindah kesana. Di sisi lain, Iraq seagai daerah mayoritas Syi'ah dan Khawarij adalah percontohan dari peradaban Persia, paling tidak ada pergesekan peradaban hingga ditemukannya berbagai macam masalah juz'iy yang tak ada teksnya dalam Al-Qur'an23.  Diantara sahabat yang mengasuh madzhab ini adalah Abdullah bin Mas'ud Ra. 

VII.    Dinasti Abbasiyyah (132 H-Abad 4 H)
Pada tahun 132 H sejarah mencatat terjadinya revolusi Baghdad yang menumbangkan dinasti Umawiyyah dan diganti oleh dinasti Abbasiyyah. Abu Al-Abbas bin Muhammad sebagai khalifah pertamanya. Dinasti Abbasiyyah berarti keunggulan ilmu dalam Islam. Berkembangnya ilmu dalam berbagai disiplinnya adalah prestasi besar dinasti Abbasiyyah. Ilmu dan ulama seperti menemukan zaman keemasannya. Hal ini terbukti dengan maraknya kajian keilmuan dikalangan masyarakat, apalagi didukung oleh keadaan ekonomi-politik yang stabil, menjamin riset dan penelitian yang berkesinambungan langsung dibawah pengawasan sang khalifah. Disinilah titik awal inisiatif pengkodifikasian hadits, munculnya ilmu baru (Seperti, ushul Al-Fiqh) dan proses tumbuhnya akar madzhab fikih dalam Islam. Abad 2 dan 3 hijriyah disebut sebagai Al-'Asru Al-Dzahabiyyah zaman keemasan, ijtihad dan ilmu fikih menjadi topic pembahasan yang paling actual. Disebut juga zaman kesempurnaan, masa kebangkitan fikih, masa kodifikasi dan merebaknya buku-buku fikih.                                                         
a.          Fikih Pra-Madzhab.
Goldziher, bapak orientalis dunia menyinggung masalah fikih Islam sebagai produk akulturasi budaya Arab dengan Persia dan Romawi, sehingga terciptalah disiplin ilmu fikih yang kita kenal sekarang. Fikih bukan murni dari Islam. Hasil pencomotan hokum local pasukan Islam yang menguasai daerah tertentu dan sengaja diambil untuk kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah Saw24.  Menarik sekali untuk kita cermati bersama bahwa istilah dan ilmu fikih pada zaman pra-madzhab (zaman Rasulullah Saw) memang belum ada. Tapi bukan berarti fikih adalah hasil dari penjiplakan terhadap hokum Romawi, karena sejatinya, fikih adalah pemahaman yang sistematis dan lebih detail terhadap ajaran Al-Qur'an dan Hadits produk ijtihad para Shahabat. Memang sudah ada akarnya sejak islam lahir. Akan tetapi, istilah fikih pada masa pra-madzhab memang bermakna luas dan umum, untuk semua koridor syari'at, baik yang bersifat 'amaliyah maupun 'itiqadiyah25.  Setelah Tabi'in memainkan perannya, istilah fikih mengalami penyempitan makna hanya untuk istilah hokum Islam yang berifat 'amaliyah tanpa merubah tujuan utamanya yaitu mengatur kehidupan sesuai dengan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Akjirnya fikih menjadi topic pembahasab menarik pada masa Tabi'in seiring dengan munculnya masalah-masalah baru dan tidak ada nash sharih-nya dalam Al-Qur'an sehingga juga mengakibatkan banyaknya perbedaan pendapat diantara para ulama. Dari sini, akar munculnya madzhab fikih sudah jelas dengan menjamurnya halaqah-halaqah ilmiyah yang tersebar diberbagai wilayah Islam. Dengan semakin luasnya kekuasaan khilafah islamiyyah dan masuk Islamnya non Arabtimbullah inisiatif tadwiin al-sunnah (kodifikasi hadits) yang dipelopori oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w 101 H). Meskipun karya Beliau belum kita temukan sampai sekarang26.
b.          Faktor dan Motivasi Berkembangnya Madzahib Fiqhiyah Islamiyyah.
Berbicara tentang madzhab sebelum terjadinya penyempitan makna fikih, kita akan menemukan istilah madzhab untuk menyebut istilah madzhab 'aqidah, madzhab siyasiyah dan madzhab fiqhiyyah. Tetapi madzhab yang kita pahami melalui bahasa Indonesia hanya terfokus pada madzhab fikih saja. Madzhab ahkam dzanniyah 'amaliyah yang tidak mengenal jumud. Adapun motivasi umum yang menyebabkan berkembangnya madzhab fikih adalah sebagai berikut27:
    Ketekunan para murid para murid Imam madzhabv dalam mengkodifikasi buku dan karya sang guru. Sehingga mudah tersebar dan diajarkan kepada umat Islam. Terlebih, hasil ijtihad para Imam yang diterima dikalangan Imam yang lain dan standar untuk dijadikan sebagai bahan riset dalam beristinbath. Demikian besarnya peranan murid dalam proses penyebaran madzhab, seperti pernyataan yang disampaikan Imam Syafi'I, bahwa Imam Al-Laits bin Sa'ad 28 lebih cerdas dari Imam Malik. Hanya saja, murid Imam Al-Laits tidak punya peran banyak dalam menyebarkan pemikiran dan gagasan-gagasan Beliau.
    Didukung oleh pemerintah atau penguasa yang menganut madzhab tertentuv dan menjadikannya sebagai madzhab Negara dan rujukan dalam mengeluarkan fatwa. Dari kedua penjelasan ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa berkembangnya sebuah madzhab bukan karena lebih unggul dari segi ilmiah dari madzhab dan ulama mujtahid yang lain. Selebihnya, dua alasan diatas adalah motivator meluasnya madzhab tertentu dalam masyarakat.
c.          Faktor Kebangkitan Ilmu Fikih.
Setidaknya ada empat factor yang melatarbelakangi kebangkitan ilmu fikih, seperti yang disampaikan Prof.Dr. Muhammad Dasuqi dalam bukunya Al-Tarqib Baina Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah Min Ajli Al-Wahdah Al-Islamiyyah yaitu:
    Berdirinya Daulah Abbasiyah yang mendukung dan memfasilitasi fuqahav langsung dibawah arahan khalifah Bani Abbas. Bangkitnya fikih Islam juga merupakan prestasi besar Daulah Abbasiyah.
    Menjamurnya Halaqah-halaqah
v ilmiyyah diseluruh wilayah Islam. Kondusifnya situasi ekonomi danpolitik pada masa Abbasiyah juga mempengaruhi pendidikan masyarakat. Sehingga umat Islam pada saat itu semangat untuk mendirikan sekolah dalam berbagai disiplin ilmu dan sains.
    Rihlah Ilmiyyah. Yaitu thalab al-ilm dan studi komparatif dari
v ulama satu ke ulama lain antar Negara. Seperti yang dilakukan Imam Syafi'i.
    Observasi dan sharing idea antar sesama Imam Mujtahid, bahkan tidak
v jarang saling berdebat dan adu argument dengan semangat untuk dapat menemukan sokusi bagi semua  problematika umat.


d.    Madzhab fikih dalam Islam.
Madzhab fikih Islam yang diakui oleh jumhur ulama ada delapan madzhab. Dua diantaranya mewakili Syi'ah, satu madzhab dari Khawarij dan lima dari Sunni, Yaitu:
1.            Madzhab Syi'ah Imamiyyah. Yang mempercayai bahwa Rasulullah Saw memberi mandat khilafah  kepada Sayyidina Ali Ra, dan sang Imam mustahil untuk berbuat kesalahan. Madzhab ini tidakmengakui qiyas sebagai mashadir al-tasyri'.
2.            Madzhab Syi'ah Zaidiyyah yang dinisbatkan namanya kepada Imam Zaid bin Ali bin Zainal Abidin.
3.            Madzhab Ibadliy dari khawarij yang didirikan oleh Abdullah bin Ibad (w 80 H). madzhab ini berpendapat bahwa yang berhak menentukan khalifah adalah rakyat.
4.            Madzhab Al-Dzahiri yang mengikuti Imam Abu Sulaiman Daud bin Ali Al-Asfihaniy. Madzhab ini berpegang pada dzahirnya teks dan anti qiyas.
5.            Madzhab Hanafi yang mengikuti jejak Imam Nu'man bin Tsabit, wafat tahun 150 H. masyhur dikalangan fuqaha sebagai Imam Al-Qiyas.
6.            Madzhab Maliki, dipelopori oleh Imam Malik bin Anas Al-Ashbahi di tanah Hijaz dan Beliau wafat tahun 179.
7.            Madzhab Syafi'i. Adalah sebutan untuk para pengikut Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'I wafat pada tahun 204 H.
8.            Madzhab Hanbali. Di gagas oleh Imam Ahmad bin Hanbal Al-Syaibani. Wafat tahun 241 H.

VIII.    Epilog.
Islam, dengan fleksibilitas, toleransi dan kelonggaran hukum yang ada didalamnya harus kita jadikan sebagai sebuah rahmat dan nikmat. Dalam berbagai sisi, syari'at Islam mampu menjawab permasalahan kontemporer dan lebih unggul dari syari'at umat terdahulu atau hukum konvensional manapun. Anggapan Goldziher yang mengatakan bahwa syari'at Islam adalah duplikat dari hukum Romawi adalah salah besar29.  Justeru studi komparatif paling kontemporer saat ini menunjukan bahwa hokum masyrakat Eropa malah merujuk ke fikih madzhab Maliki yang pernah menjadi madzhab resmi umat Islam di Andalusia. Eropa yang saat ini kembali ke panggung dunia adalah warisan dari sejarah peradaban Romawi-Hellenisme yang dibangun diatas pondasi kebathilan dan diktatorisme30.  Perbedaan paling mencolok antara hokum konvensional dengan syari'at Islam adalah hokum konvensional sudah jelas buatan manusia, berbeda dengan syari'at. Hokum konvensional hanya terbatas untuk waktu, ruang dan tempat tertentu saja dan hanya mengatur masalah muamalah. Berbeda dengan syari'at Islam. Dalam muqaddimah buku Fiqh Al-Sunnah-nya, Al-Sayyid Sabiq menekankan bahwa syari'at Islam didirikan atas dasar keimanan dan akhlaq, berbeda dengan Eropa yang selalu dendam dan tak pernah bisa menerima Islam sebagai pelopor lahirnya dunia baru bagi sejarah umat manusia.  Meski maraknya studi Islam di Barat, bukan berarti mereka mulai bisa menerima Islam sebagai syari'at. Justru malah usaha nyata dekonstruksi terhadap semua ajaran Islam. Akan tetapi, bukan berarti kita harus menjauhinya. Justru itulah tugas umat Islam dewasa ini, agar selalu menuju pendekatan agar anggapan mereka terhadap Islam jauh lebih baik dan bisa memaksimalkan Islamic studies layaknya Al-Azhar Univ. atau Darul Ulum Cairo Univ. 

Syari'at dengan sendirinya bisa shalih likulli zaman wa makan. Dengan perangkat ijtihad yang begitu mapan dan pendekatan psykologis terhadap semua hokum Islam, memudahkan syari'at mampu menjawab semua persoalan umat yang jauh dari kebathilan dan kemadlaratan. Dalam istilah kontemporer kita mengenal ijtihad kolektif atau ijtihad jama'I yang proses istinbathnya dengan mengerahkan semua pakar bidang spesialisasi disiplin ilmu. Sehingga produk ijtihadnya mampu di pertanggung jawbkan secara akal dan sesuai dengan syari'at Islam. Disini, peran ulama, dokter, psykolog, pemerintahan dan semua element masyarakat bisa dimaksimalkan. Tentunya untuk kepentingan bersama.
Inilah Islam, Islamku, Islam kalian dan Islam kita. Patut kita banggakan dan dijaga, agar bisa shalih likulli zaman wa makan, kaidah itu akan terasa nyata hanya jika kita punya dedikasi dan komitmen tinggi untuk menegakkan syari'at Islam. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga , masyrakat dan dengan sendirinya akan menjadi sebuah ideology masa depan yang bisa memunculkan fajar Islam didunia yang saat ini membutuhkannya.
============================================================
Dipresentasikan dalam Diskusi Intensif Tebuireng Center Cairo, Sabtu 21 Oktober 2006.

1.al-Majma' al-Lughah al-Arabiyyah. al_Mu'jam al-Wajiz, Wizarah Al-Auqaf, (Kairo :
2.Muhammad Al-Khudlory Bek, Tarikh al-Tasyri' al-Islamy, Maktabah Tijariah Kubra (Cairo:    ) hal. 17
3.Taha, Dr. Abbas Muhammmad. Al-Syari'ah Al-Islamiyyah Tarikhuha wa Adillatuha. Cairo: Al-Azhar Press Hal: 9
4.Bisa kita komparasikan antara makna Muru'ah antara makna pra-Islam dan Pasca lahirnya Islam. Muru'ah seperti yang disebutkan para sejarahwan di atas adalah untuk makna pra-Islam. Sedangkan makna Muru'ah  dalam Islam udah mengalami perubahan. Dalam Mu'jam Al-Wajiz disebutkan bahwa makna Muru'ah  adalah kesopanan diri yang membawa manusia untuk mengikuti kebiasaan dan akhlak yang baik.
5.Al-Qattan, Manna'. Tarikh Al-Tasyri' Al-Islamiy Al-Tasyri' wa Al-Fiqh. Riyadh: Maktabah Ma'arif. Hal 29.
6.Ibid, Hal: 30.
7.   Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur'an itu sedang di turunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah  Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.
8.Q.S Al-Haj:  38
9.Q.S Al-Baqarah: 219
10.Q.S Al-Nisa: 43
11.Q.S Al-Maidah: 90.
12.Taha, Dr. Abbas Muhammmad. Op cit. Hal: 68.
13.Al-Qattan, Manna'. Op cit. Hal: 45.
14.Ibid. Hal: 50.
15.H.R.Abu Dawud.
16.Khalil, Dr. Rasyad Hasan. Tarikh Al-Fiqh Al-Islami. Cairo: Al-Azhar Press. 2004. Hal: 78.
17.Al-Qattan, Manna'. Op cit. Hal: 186.
18.H.R. Abu Dawud.
19.Khalaf, Abd Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Kuwait: Daar Al-Qalam.
10.Dasuqi, Prof.Dr. Muhammad. Al-tarqib Baina Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah Min Ajli Al-Wahdah Al-Islamiyyah.  Cairo: Wizarah Al-Auqaf.
21.Sabiq, Al-Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. Cairo: Dar Al-Fath Al-'Ilam Al-Arabi. Hal: 8.
22.Al-Qattan, Manna'. Op cit. Hal: 257
23.Ibid. Hal: 290.
24.Al-Ghazaly, Muhammad. Difa' 'An Al-Aqidah Wa Al-Syari'ah Dliddu Matha'in Al-Mustasyriqin. Cairo: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah. Hal: 63.
25.Dasuqi, Prof.Dr. Muhammad. Op cit.
26.Ibid, Hal: 5.
27.Ubadah, Prof.Dr. Muhammad Anis. Nasy'ah Al-Madzahib Al-Islamiyyah Wa Al-'Awamil Allati Addat Ilaiha. Cairo: Al-Azhar Press.
28.Imam Al-Laits bin Sa'ad, ahli fikih dari mesir abad 2 hijriyah (w 175 H).  Sering mengadakan studi komparatif dengan Imam Malik bin Anas (w 179 H). Hal ini menunjukan kapabilitas Beliau sebagai mujtahid. Lihat wafiyyat Al-A'yan li Ibni Khalkan.
29.Al-Ghazaly, Muhammad. Op Cit. Hal: 86.
30.Ulwan, Abdullah Nasih. Al-Harakah Al-Islamiyah Al-Mu'ashirah. Cairo: Dar Al-Salam. Lihat juga Tarikh Al-Hadlarahn Al-Hiliniah. Penulis, Arnold Toynbee. Di Arabkan oleh Ramzi Girgis. Cairo: Maktabah Usrah 2003.
  

Tidak ada komentar: