INSAN TAQWA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,INSAN TAQWA ,ADALAH MANUSIA YANG SELALU MELAKSANAKAN AJARAN ALLAH DAN ROSULNYA,PENGUMUMAN BAGI SIAPA SAJA YANG KESULITAN MENGHITUNG HARTA WARIS,TLP.081310999109/081284172971/0215977184 DENGAN BAPAK WAHDAN.SAG

Senin, 27 Desember 2010

FIQIH

Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:

1.      Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2.      Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing. 

Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3.      Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits.
Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4.      Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah
  1. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
     
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
    • Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
    • Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
    • Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab. 
  1. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
    Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
     
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
    • Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
    • Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
    • Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
  • Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
  • Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta'akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
  • Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid'ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.

Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.


Mazhab Fiqh

Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut oleh masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi'ah.
Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
Mazhab Ahlussunnah
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra'yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra'yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma'i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
  • Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
  • Bagian kedua al-Jami' al-Kabir;
  • Bagian ketiga al-Jami' as-Sagir;
  • Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
  • Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
  • Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
2. Mazhab Maliki.
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa' yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma'mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa'. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, 'Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari'ah, dan Syar'u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur' an, sunnah Nabi SAW, ijma', dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari'ah, Istihsan, 'Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).
Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.
3. Mazhab Syafi'i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi'i. Keunggulan Imam asy-Syafi'i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra 'yi, Imam asy-Syafi 'i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra'yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi'i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur'an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma' sahabat. Ijma' yang diterima Imam asy-Syafi'i sebagai landasan hukum hanya ijma' para sahabat, bukan ijma' seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma' tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi 'i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara'
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi 'i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi 'i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi'i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi 'i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi 'i tersebut.
4. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra'yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi'i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
  1. An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma';
  2. Fatwa Sahabat;
  3. Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW;
  4. Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma'; dan
  5. Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari'ah, 'urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang populer adalah Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
1. Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu' yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu' ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San'ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami' fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.) yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami' li Mazahib 'Ulama' al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut'ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra'yi
2. Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi 'i dengan beberapa perbedaan yang mendasar.
Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur'an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara'. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma' sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara', kecuali ijma' bersama imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M).
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja'far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A'raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya'ir ad-Darajat fi 'Ulum 'Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi 'ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
  1. Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut'ah yang diharamkan ahlus sunnah;
  2. Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah tidak perlu; dan
  3. Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.
Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran sekarang.
Mazhab fiqh yang Punah
Pengertian mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza'i
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman al-Auza'i (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqh terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damascus yang menolak qiyas. Dalam salah satu riwayat ia berkata: "Apabila engkau menemukan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkanlah seluruh pendapat yang didasarkan kepada yang lainnya (selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW)."
Mazhab al-Auza'i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai Mazhab Syafi'i menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Mazhab al-Auza'i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur fiqh (tidak dibukukan secara khusus). Pemikiran al-Auza'i dapat dilihat dalam kitab fiqh yang disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (w. 310 H./923 M.; mufasir dan faqih) yang berjudul Ikhtilaf al-Fuqaha, dan dalam kitab al-Umm yang disusun Imam asy-Syafi'i. Dalam al-Umm, asy-Syafi'i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al-Auza'i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al-Auza'i. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir (ahli fiqh dari Mesir), Mazhab al-Auza'i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.
2. Mazhab as-Sauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H./778 M.). Ia juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut as-Sauri tidak banyak. Ia juga tidak meninggalkan karya ilmiah. Mazhab ini pun tidak dianut masyarakat lagi sejak wafatnya penerus Mazhab as-Sauri, yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Mazhab as-Sauri di Masjid al-Mansur, Baghdad.
3. Mazhab al-Lais bin Sa'ad
Tokoh pemikirnya adalah al-Lais bin Sa'ad. Menurut Ali Hasan Abdul Qadir, mazhab ini telah punah dengan masuknya abad ke-3 H.
Fatwa hukum yang dikemukakan al-Lais yang sampai sekarang tidak bisa diterima oleh ulama mazhab adalah fatwanya tentang hukuman berpuasa berturut-turut selama dua bulan terhadap seorang pejabat di Andalusia yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan.
Dalam fatwanya, al-Lais tidak menerapkan urutan hukuman yang ditetapkan Rasulullah SAW, dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh mayoritas rawi hadits dari Abu Hurairah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa hukuman orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan adalah memerdekakan budak; kalau tidak mampu memerdekakan budak, maka diwajibkan berpuasa selama dua bulan berturut-turut; dan kalau tidak mampu juga berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Al-Lais tidak menerapkan hukuman pertama (memerdekakan budak). Alasannya, seorang penguasa akan dengan mudah memerdekakan budak, sehingga fungsi hukuman sebagai tindakan preventif tidak tercapai. Demikian juga dengan memberi makan 60 orang fakir miskin bukanlah suatu yang sulit bagi seorang penguasa. Oleh sebab itu, al-Lais menetapkan hukuman berpuasa dua bulan berturut- turut bagi pejabat tersebut. Menurutnya, hukuman tersebut lebih besar kemaslahatannya dan dapat mencapai tujuan syara'. Jumhur ulama menganggap fatwa ini tidak sejalan dengan nash, karena nash menentukan bahwa hukuman pertama yang harus dijatuhkan pada pejabat tersebut semestinya adalah memerdekakan budak, bukan langsung kepada puasa dua bulan berturut-turut. Oleh sebab itu, landasan kemaslahatan yang dikemukakan al-Lais, menurut jumhur ulama adalah al-maslahah al-gharibah (kemaslahatan yang asing yang tidak didukung oleh nash, baik oleh nash khusus maupun oleh makna sejumlah nash).
4. Mazhab ath-Thabari
Tokoh pemikirnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.). Menurut Ibnu Nadim (w. 385 H./995 M.; sejarawan), ath-Thabari merupakan ulama besar dan faqih di zamannva. Di samping seorang faqih, ia juga dikenal sebagai muhaddits dan mufassir. Kitabnya di bidang tafsir masih utuh sampai sekarang dan dipandang sebagai buku induk di bidang tafsir, yang dikenal dengan nama Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an. Di bidang fiqh ath-Thabari juga menulis sebuah buku dengan judul Ikhtilaf al-Fuqaha.
Dalam bidang fiqh, ath-Thabari pernah belajar fiqh Mazhab Syafi'i melalui ar-Rabi bin Sulaiman di Mesir, murid Imam asy-Syafi'i. Akan tetapi, tidak banyak ulama dan masyarakat yang mengikuti pemikiran fiqh ath-Thabari, sehingga sejak abad ke-4 H mazhab ini tidak mempunyai pengikut lagi.
5. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma'. Ijma' yang mereka terima adalah ijma' seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian ijma' yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma', karena ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi'i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra'yu (rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
Dengan punahnya mazhab-mazhab kecil ini, maka mazhab fiqh yang utuh dan dianut masyarakat Islam di berbagai wilayah Islam sampai sekarang adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali, yang dalam fiqh disebut dengan al-Mazahib al-Arba'ah (Mazhab yang Empat) atau al-Mazahib al-Qubra (Mazhab-Mazhab Besar)
Cetak  Kirim Kepada Teman

Syariat dan Fiqh
Syari'at dan Fiqh memiliki ikatan yang kuat dan sulit untuk dipisahkan, namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar.
Meskipun syariat dan fiqh memiliki ikatan yang kuat dan sulit dipisahkan, namun diantara keduanya terdapat perbedaan mendasar. Kata syariat (Ar: asy-syari'ah) secara etimologis berarti sumber/aliran air yang digunakan untuk minum. Dalam perkembangannya, kata syariat digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at-tariqah al-mustaqimah), karena kedua makna tersebut mempunyai keterkaitan makna. Sumber/aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, sedangkan at-tariqah al-mustaqimah merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini, syariat diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT bagi umat manusia.
Secara terminologis, Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa syariat sama dengan agama. Sedangkan Manna al-Qattan (ahli fiqh dari Mesir) mendefinisikan syariat sebagai segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Kemudian Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa syariat adalah segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah Nabi SAW yang diyakini kesahihannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa syariat adalah an-nusus al-muqaddasah (teks-teks suci) yang dikandung oleh Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Berdasarkan definisi syariat tersebut, ulama fiqh dan usul fiqh menyatakan bahwa syariat merupakan sumber dari fiqh. Alasannya, fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap an-nusus al- muqaddasah dan merupakan upaya mujtahid dalam menangkap makna serta illat yang dikandung oleh an-nusus al-muqaddasah tersebut. Dengan demikian, fiqh merupakan hasil ijtihad ulama terhadap ayat Al-Qur'an atau sunnah Nabi SAW. Atas dasar perbedaan tersebut, ulama fiqh menyatakan bahwa syariat dan fiqh tidak bisa disamakan. Alasannya, syariat bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya, sedangkan fiqh merupakan hasil pemikiran mujtahid dalam memahami ayat Al-Qur'an atau hadits Nabi SAW. Menurut Fathi ad-Duraini, sebelum dimasuki oleh pemikiran manusia, syariat selamanya bersifat benar. Sedangkan fiqh, karena sudah merupakan hasil pemikiran manusia, bisa salah dan bisa benar. Namun demikian, menurut Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh dari Mesir) syariat dan fiqh mempunyai keterkaitan yang erat, karenanya fiqh tidak bisa dipisahkan dari syariat.
Cetak  Kirim Kepada Teman



Tidak ada komentar: