INSAN TAQWA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,INSAN TAQWA ,ADALAH MANUSIA YANG SELALU MELAKSANAKAN AJARAN ALLAH DAN ROSULNYA,PENGUMUMAN BAGI SIAPA SAJA YANG KESULITAN MENGHITUNG HARTA WARIS,TLP.081310999109/081284172971/0215977184 DENGAN BAPAK WAHDAN.SAG

Jumat, 14 Januari 2011

HUKUM KOALISI


HUKUM KOALISI POLITIK

Koalisi dan aliansi berasal dari bahasa Inggris coalition dan alliance yang secara bahasa arti keduanya hampir tidak dapat dibedakan yaitu penggabungan, persatuan, persekutuan dan perseikatan (John Echols : Kamus Inggris Indonesia). Koalisi dan aliansi berarti kerjasama dalam kegiatan perpolitikan.

Di sisi lain Deliar Nor dalam pipernya yang diajukan kepada partai-partai Islam memberi batasan bahwa koalisi lebih dalam menentukan kekuasaaan sedangkan aliansi adalah setrategi sekelompok partai yang memiliki tujuan yang sama untuk menggolkannya dalam pemilu.

Tetapi pengertian ini sering dibantah oleh para pakar dalam bebagai diskursus mereka yang mana bahwa koalisi itu tidak pernah ada dan tidak bisa dipraktekkan dalam suatu negara yang sistem kenegaraannya menganut sistem presidential. Lebih jauh Riyas Rasyid dalam beberapa pernyataannya selalu mengatakan bahwa pembagian kekuasaan yang akan dilakukan oleh partai-partai pemenang pemilu di Indonesia atas dasar aliansi bukan koalisi.

Dengan demikian pengertian koalisi dalam terminologi politik praktis adalah suatu bentuk kerjasama antar partai-partai tertentu untuk membentuk pemerintahan dalam suatu negara yang bukan sistem presidential . Sedangkan aliansi adalah kerja sama antar partai –partai politik tertentu untuk memebentuk kekuatan sesudah atau sebelum pemilu atau untuk menggolkan suatu program tertentu seperti memilih presiden dan wakilnya, bahkan dalam menjalankan roda pemerintahan dalam suatu negara yang bersistem presidential sekalipun.

Sedangkan perbedaan keduanya, dalam koalisi sewaktu-waktu salah satu partai yang berkoalisi dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada yang berkuasa untuk menuntut mundur presiden yang menjabat bila menyeleweng dari kesepakatan sehingga satu periode pemerintahan dapat dipimpin dua kali seorang kepala negara. Sedangkan dalam aliansi hal tersebut tidak terjadi karena aliansi dilakukan untuk membentuk pemerintahan bersama dalam negara yang bersistem presidentil maka masa jabatan presiden telah ditentukan sehingga tidak ada alasan lagi bagi partai yang beraliansi untuk mengajukan mosi tidak percaya dan meuntut mundur presiden yang sedang menjabat.

Pengertian koalisi dan aliansi di atas sepadan dengan istilah dalam Islam at-tahaluf as-siyasi(
ǡʍǡݠǡӭǓ� yang artinya secara etimologi dari kata al-hilfu yakni ai al-`ahdu yaitu perjajian, dan sumpah, selanjutnya kami sebut ‘at-tahaluf’ dalam hadits Nabi SAW :

އ᠃
: ޏ ͇ᝠѓǡաڡ擡㠈�ޑ픠懡äՇѠݭ χѥ ǡʭ ȇᣏ�

Anas berkata:”Rasulullah SAW telah melakukan perjanjian(mempersekutukan) antara Quraisy dan al-Anshar di rumahnya di Madinah ”(HR Muslim: bab muakhooh: 16/82)

Lebih jauh Ibu al-Ashir mengatakan bahwa pada dasarnya at-tahaluf adalah saling mengikat dan saling berjanji dalam tolong menolong bantu membantu dan kesepakatan.(Ibnu Atsir; an-Nihayah fi Gharibil Hadits; 1/424)

BEBERAPA ISTILAH LAIN YANG MEMILIKI HUBUNGAN DENGAN AT TAHALUF

a.al-Muwalah dan Muakhooh Al-Muakhoh adalah perjanjian antara dua pihak (orang) untuk saling menolong, membantu, mewarisi hingga seperti dua saudara senasab. Kadang-kadang perjanjian tersebut disebut ‘al hilfu’, jika saling bersumpah (janji setia), mak masing-masing disebut maula ( sentral loyalitas bagi yang lain)

b. Taawun yaitu: adalah tolong menolong yang besifat umum pada masalah kebaikan. Allah berfirman dalam surat Al Mai’dah: 2, artinya:” Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Tolong menolong seperti ini juga disebut at tahaluf sesuai dengan hadits Nabi SAW:” Dan bentuk tahalauf apa saja yang pernah terjadi masa jahiliyah menjadi lebih kuat dengan hadirnya Islam. (HR Muslim; ibid). Menurut Ibnu Atsir bentuk-bentuk tahaluf yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan( Ibnu Atsir; Ibid).

c.Ukhuwah adalah ikatan persaudaraan yang dilandasi keimanan sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hujurat: 10, artinya:” Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara”.

d.Muhadanah adalah perjanjian setelah terjadi peperangan


2- PERISTIWA-PERISTIWA ‘AT TAHALUF’ PADA MASA LAMPAU

Dicatat oleh Ibnu Ishaq dan pakar-pakar lain bahwa peristiwa sejenis aliansi banyak terjadi pada masa jahiliyah baik itu antara personal, atau antara personal dengan komunitas suatu kabilah bahkan antar kabilah dengan kabilah .

At tahalufi yang terjadi dalam kelompok Abu Bakar dimana Nabi berada di dalamnya melibatkan 4 kabilah yang kemudian dikenal sebagai tahaluf al-Muthayyabin misalnya, juga yang terjadi dalam kelompok Umar yang dikenal sebagai Hilful Ahlafi yang terdiri dari 6 kabilah, keduanya dalam merebutkan kepemimipinan di Makkah yang tercermin dalam mengurus kiswah, membawa bendera peperangan dan penjamuan makan dan minum kepada tamu-tamu ka`bah.

Salah satu at tahaluf yang disaksikan Nabi SAW dan didukung olehnya setelah kenabian adalah Hilfu al-fudhul. Dalam dukungannya beliau menyatakan :” Kalau aku di undang (dalam Hilful Fudhul) di masa Islam maka aku akan melayaninya “ . Karena Nabi mengetahui persis bahwa Hilful Fudhul ditegakkan hanya untuk menolong orang-orang yang mazhlum dan mengambilkan haknya.

Salah satu tahaluf yang monumental dicatat dalam sejarah adalah perjanjian damai dengan Yahudi di wilayah Madinah demi menciptakan keamanan bersama dan penegakkan keadilan. Hal itu terjadi dengan beberapa kabilah lain sesuai dengan kebutuhan. (al-Mubarakfuri; 226).


HUKUM AT TAHALUF AS SIYASI

懡ㄣ䦤 懡ㄣ䇊 횖壠æᭇ`Ț֠Ѧǡ㚑杠此妤 ڤ ǡѠ�䠇ᕡljʦ䠇ᒟlj 歘횦䠇ᡥ 摓桥

Artinya:”Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjkan yang ma’ruf mencegah yang munkar, mendirikan shallat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya” (QS at-Taubah 71)

ǡ㓡㦤 ʊ߇݃ ϣDŽ壠퓚절УʥϤǥ㠦팭Ѡڡ� ÞՇ壠楣 폠ڡ젣䠓懥㠼br />
Artinya: “Darah kaum muslimin satu dengan yang lain adalah sedrajat. Yang lemah diantara mereka dapat memberi jaminan (kepada yang lain). Yang jauh diantara mereka dapat melindungi yang lainnya dan mereka adalah tangan atas kaum muslimin yang lain (HR Abu Dawud; 3/183-185)

Dari pemapaparan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk at tahaluf adakalanya sesama muslim (idiologis), ada yang lintas agama sebagaimana dilakukan Nabi SAW dengan kaum Yahudi di Madinah dan dukungannya terhadap Hilful Fudhul.

At tahaluf yang pertama ini yang selanjutnya disebut tahaluf idiologis hanya dapat dilakukan dengan kelompok atau orang yang memiliki idiologi dan agama yang sama dalam berbagai persoalan dari yang paling prinsip hingga yang paling sederhana sepanjang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

Sedangkan bentuk tahaluf yang kedua adalah bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, memerangi kezhaliman serta kemaslahatan kaum muslimin. Oleh karena itu Imam Syafi’I menegaskan bahwa yang menjadi ukuran dalam boleh dan tidaknya tahaluf dengan non muslim adalah kemaslahatan umat (lihat Mughni al-Muhtaj; 4/221). Dalam hal ini Imam Ibnu Taimiyah juga sepakat bahwa pemberlakuan tahaluf tidak harus bertendensi kepada idiologi melainkan kepada maslahat umat agar tidak diluar koridor maka ia memberikan batasan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW:

޳
ǡ󠑳ӵ ǡճᡸ󥠚󡳭򥶠󡸳㳠㳤��򊳑󘳠ԳѺذǠ᳭򓳠ݶ𗷫�ȶ ǡݳ󠈳ǘ����ǔ򊳑󘳠Ƴɳ ԳѺز ԳѺص ǡóͳ޸��ó󞵠*

Artinya: Rasulullah SAW bersabda:”Barang siapa membuat persyaratan(perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah, maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan 100 persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat” (HR Bukhari ; kitabul Buyu’) (lihat Ibnu Taimiyah ; al-Majmu’ al-Fatawa 35/92-97).



HUKUM OPOSISI DALAM ISLAM

Oposisi dalam bahasa Inggris; opposition. Dalam bahasa Latin: oppositus, opponere, (memperhadapkan, membantah, menyanggah, menentang) menurut pakar hukum dan politik diartikan sebagai kubu partai yang mempunyai pendirian bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan pemerintahan. Oposisi bukan musuh, melainkan sparing patner dalam percaturan politik.

Dalam demokrasi, oposisi dianggap sesuatu yang sangat diperlukan, sehingga oposisi dalam parlemen melembaga secara resmi. Sebab oposisi menjalankan suatu fungsi yang sangat vital dan penting yaitu check and balances, mengontrol pemerintah yang didukung mayoritas, menguji kebijakan pemerintah dengan menunjukkan titik-titik kelemahannya, mengajukan alternatif. (Lihat, B.N. Marbun, SH., dalam Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1996, hal. 455-456, John M. Echols dan Hasan Shadili dalam Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1992, hal. 407, Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta 1996, hal. 754)

Dalam wacana politik Islam, oposisi (mu’aradhah) ditinjau dari dua aspek; doktrin kultural dan institusi struktural. Aspek doktrin kultural, menekankan bahwa oposisi bukan sekedar hak asasi, melainkan juga suatu kewajiban syari’ah dan tanggung jawab moral.

Seluruh nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta arahan para Khulafa’ Rashidun membawa kepada konsekuensi logis mendorong umat Islam kepada sikap oposisi yang loyal (loyal opposition), konstruktif dan reformatif.

Karena, fokus dasar perintah syari’ah adalah Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) yang diistilahkan oleh Imam Ghozali dalam Ihya ‘Ulumuddin (vol. II/265) sebagai ‘top sentral ajaran Islam’ (al-Quth al-A’dzam Liddin) yang ditengarai oleh Saefuddin AF. Isma’il telah dihapuskan dari konteks budaya politik praktis kontemporer dan hanya terbatas pada seruan dan himbauan moral sosial. (Tajdid Siyasi, hal. 364)

Berbagai krisis peradaban umat Israel bahkan menjadi bangsa terkena kutukan Allah, adalah karena mereka meninggalkan tugas penting kontrol moral ini.

Allah Berfirman: “Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. (QS.Al-Maidah:79)

Ini kebalikan watak Islam yang menjadikan amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai budaya dan mental umatnya sebagai modal pembentukan masyarakat madani berjaya yang Khairu Ummah (QS. Ali Imran:104, 110)

Karenanya, Nabi saw dalam berbagai haditsnya senantiasa memperingatkan umatnya untuk tidak mendiamkan apalagi melegitimasi kemungkaran, bahkan beliau mendorong umat Islam untuk siap berdiri di garda terdepan dalam perjuangan menentang segala bentuk kedzaliman.

Malik bin Nabi, filosuf Al-Jazair mengomentari hadits “Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu dengan lisannya, bila tidak mampu dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Ashab Sunan, Ahmad) mengatakan bahwa misi setiap muslim bukan sekedar mennjadi penonton dan pengamat terhadap realitas sejarah, akan tetapi berperan merubah alur peristiwa dengan mengembalikannya kepada jalur kebaikan seoptimal mungkin.(Tajdid Siyasi:72)

Pengalaman historis menurut sejarawan Inggris, Lord Action membuktikan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan bersikap otoriter dan menyalahgunakannya. Oleh karenanya perlu dibatasi yakni dengan kontrol hukum dan pembatasan kekuasaan yang disemangati amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengnan prinsip dasar sharing of power dan checkand balances. Nabi SAW bersabda: “Kalian benar-benar serius melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah benar-benar akan kuasakan orang-orang jahat atas kalian, lalu orang-orang terbaik kalian berdo’a (istighotsah) dan tidak akan dikabulkan.” (HR.Tirmidzi, Tabrani, Bazzar)

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang menghadapi penguasa lalim dengan memerintahkan kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim) Bahkan Nabi menganggap keberanian sikap mengemukakan kebenaran kepada penguasa lalim merupakan jihad paling utama. “Menyatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim merupakan jihad yang paling utama.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam implemnetasinya, para sahabat bersama Rasulullah Saw dan generasi salaf sangat komit dengan doktrin oposisi yang dijiwai semangat amar ma’ruf nahi munkar ini, dan hal itu bukan menjadi hal yang tabu serta asing bagi budaya sosial politik mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemerintah pertama sepeninggal Nabi Saw, adalah pelopor gerakan oposisi rakyat terhadap pemerintah dalam mengawasi roda pemerintahan, mengevalusuasi dan meluruskannya. Dalam pidato pengangkatannya setelah dibai’at rakyat sebagai khalifah beliau berkata: “Sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemerintah kalian dan saya mengakui bukan orang terbaik kalian. Maka jika saya berbuat baik dan bijak, hendaklah kalian dukung. Jika saya berbuat jelek, hendaklah kalian luruskan.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, vol.VI/264.

Demikian halnya Amirul Mukminin, Umar bin Khathab menyerukan: “Wahai rakyatku, siapapun yang melihat penyimpangan pada diriku, maka hendaklah ia meluruskannya.” (Abdul Aziz Badri, Al-Islam bainal ’Ulama’ wal Hukkam, hal. 59)

Semua itu bukan retorika dan basa-basi politik, tetapi benar-benar terimplementasi secara konsekuen. Pada saat umat Islam membebaskan daerah Irak, Syam dan Mesir pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, timbullah gerakan oposisi di kalangan militer yang ikut membebaskan daerah tersebut terhadap kebijakan Umar tentang otonomi dan eksistensi daerah pembebasan yang tidak akan dibagikan kepada pasukan pembebasan mengingat proyeksi ke depan. Dengan sabar dan bertawakal kepada Allah akhirnya masalah tersebut dapat diselesaikan dengan damai dan mufakat.

Begitu Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah, sebagian sahabat menolak untuk memberikan bai’at dan ikut dalam pemerintahannya serta memilih menjadi oposisi diantaranya adalah Sa’ad bin’Ubadah. Dan hal itu dilindungi oleh Abu Bakar. (Lihat, Dr. Muhammad ‘Ammarah dalam Al-Islam wal Muaradhah As-Siyasiyah, pada majalah Al-’Arabi, edisi Nopember 1992)

Bahkan dalam prakteknya, barisan oposisi justru kerap dipelopori oleh tokoh ulama besar yang sadar politik dan menjaga independensi institusi keulamaan untuk tetapo dipercaya umat sebagai panutan yang membendung arus sekulerisasi dalam pemerintahan. Diantaranya adalah Sa’id bin Musayyib di Madinah, sebagaimana diriwayatkan ahli sejarah Islam klasik Adz-Dzahabi, dimana beliau menolak kesertaan dalam pemerintahan dan memberikan bai’ah kepada Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahan Umawiyah. Meskipun sempat disiksa dengan 60 kali cambukan, dan pada kesempatan lain ditawari insentif serta suap 30.000 dinar, namun beliau tetap konsisten menolak untuk menjadi kroni pemerintah.

Suatu kali Umar bin Hubairah seorang gubernur pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, memanggil para ulama seperti Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin dan Sya’bi. Dia meminta fatwa berkitan dengan instruksi Yazid yang serba dilematis diungkapkannya: “Jika saya melaksanakannya, saya takut akan merusak imanku. Namun jika saya menolak saya mengkhawatirkan keamanan diriku.” Maka para ulama itu menasehatinya dengan lembut dan berpesan agar tetap komitmen dalam ketakwaan kepada Allah dan menentang penguasa yang menyimpang dari kebenaran.

Imam Ghazali dalam Ihya’-nya (vol.II/295) banyak mengungkap mentalitas elit umat dan ulama yang tetap konsisten bersikap oposisi dan menjaga jarak agar dapat mengontrol eksekutif diantaranya adalah sikap tegas Thawus Al-Yamani terhadap penguasa Hisyam bin Abdul Malik, Sufyan Tsauri terhadap Abu Ja’far Al-Manshur, Fudhail bin ‘Iyyadh terhadap Harun Ar-Rasyid yang terang-terangan mengatakan kepadanya: “Jauhilah korupsi terhadap hak rakyat, karena Rasulullah saw bersabda: ‘Barang siapa yang menipu rakyat tidak akan mencium bau surga’.”.

Demikian pula sikap oposisi loyal Abu Yusuf terhadap Harun Ar-Rasyid yang memberikan alternatif kebijakan fiskal yang islami kepadanya, seraya menasehatinya untuk takut kepada Allah dalam amanat dan hak rakyat.”, disamping itu nama-nama Abdullah bin Zubair, Imam Nawawi, Al-’Izz bin Abdus Salam, dan Ibnu Taimiyah terkenal sebagai tokoh barisan oposisi dari kalangan ulama dari berbagai generasi.

Persolannya adalah dalam realitas politik kita, implementasi wacana oposisi perlu adanya reposisi dan reaktualisasi yang terkait dengan kelembagaan. Sebab, terjadi semacam ambiguitas makna legislatif yang harusnya semua anggota dewan legislatif bersikap oposisi terhadap eksekutif karena itu sudah menjadi fungsinya, tidak perlu dikotomi, yang duduk di parlemen dari unsur dan partai manapun entah yang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Idealnya adalah partai yang berkuasa cukup menjadi MPR di samping duduk di eksekutif pemerintahan, bila tidak mau menjadi oposisi di legislatif. Sehinggga, DPR adalah sebagai perwujudan institusional struktural bagi barisan oposisi eksekutif yang berfungsi mengontrol, mengawasi dan meluruskan kebijakan pemerintah. (Lihat, Prof. Miriam Budiarjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik dan Inu Kencana dalam Pengantar Ilmu Pemerintahan)

Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf dan nahi mungkar, di samping etika perbedaan mendapat (Fiqhul Ikhtilaf).
Karena, tujuan oposisi adalah meluruskan, memberikan in-put posistif dan memperbaiki, bukan menjatuhkan. Diantara landasan moral oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya (hal. 181) dan oleh Imam Ghozali dalam Ihya’-nya (vol.II/270) adalah:
  1. Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa bukan karena nafsu.
  2. Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai maupun golongan.
  3. Berprasangka baik dan positif thinking terhadap orang lain.
  4. Tidak menyakiti dan mencela
  5. Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi logis.
  6. Dialog dengan cara sebaik-baiknya.
  7. Bersikap adil dalam menilai dan bersikap
  8. Memperhatikan skala prioritas (strata bobot penting masalah) masalah dan memakai fiqh muwazanah (Pertimbangan masak sisi maslahat dan madharat).
  9. Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan
  10. Arif, dewasa dan bijaksana serta mampu mengontrol emosi (QS.AN-Nahl:125)

    Wallahu A’lam wa Billahit Taufiq wal Hidayah.

Tidak ada komentar: