INSAN TAQWA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,INSAN TAQWA ,ADALAH MANUSIA YANG SELALU MELAKSANAKAN AJARAN ALLAH DAN ROSULNYA,PENGUMUMAN BAGI SIAPA SAJA YANG KESULITAN MENGHITUNG HARTA WARIS,TLP.081310999109/081284172971/0215977184 DENGAN BAPAK WAHDAN.SAG

Rabu, 22 Desember 2010


ILMU HADITS DIANDALUS (KAJIAN KONTEMPORER)
“ Ikatlah Ilmu Dengan Tulisan”1
               Peradaban Islam adalah peradaban yang tidak terlepas dari tulis menulis, semenjak awal peradaban Islam selalu diwarnai dengan penulisan dan pembukuan sehingga peradaban Islam tidak pernah terlepas dari teks, maka tidak salah apabila peradaban Islam disebut sebagai peradaban teks, karena semenjak kemunculannya ia tidak pernah lepas dari teks-teks, baik teks al-qur’an, hadits maupun teks-teks keilmuan Islam lainnya, yang ditulis oleh ulama disetiap masanya, bahkan pemerintah ikut berperan besar dalam mengembangkan produktifitas tulis menulis, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar dengan penulisan al-qur’an pertama yang dilakukan oleh negara, atau hadits yang dilakukan dibawah pemerintahan ‘Umar Ibn Abdul Aziz, dan Pen-tadwin-an keilmuan Islam yang sempurna pada abad kedua, yang mana masa kodifikasi ini mengawali setiap ilmu Islam sebagai fan yang berdiri sendiri, sehingga setiap keilmuan sudah diklarifikasikan sesuai dengan fan ilmunya masing-masing, ilmu hadits tidak bercampur lagi dengan ilmu fikih atau ilmu tafsir.
             Hadits atau sunnah sebagai wahyu ghairu matlu, disebut begitu karena transmisinya tidak melalui pembacaan lewat jibril sebagaimana Al-qur’an, merupakan pondasi Islam yang membentuk wajah peradaban Islam dari dalam dan tercatat dalam sejarah sebagai penguasa peradaban pada awal kemunculannya selama beberapa abad menggantikan peradaban Yunani yang melemah, perkembangan peradaban Islam tidak terlepas dari hadits, pada masa awal kemunculannya Islam menyebar dengan metode riwayat yang merupakan metode hadits, baik dari tulisan maupun lisan, ini bisa dilihat dari segi penulisan sejarah pada masa awal seperti sejarah sirah An-Nabawiyah yang ditulis oleh Ibn Hisyam, penulisan Almaghazi (kitab-kitab yang menerangkan peperangan Nabi), pembentukan hukum dan moral dimasyarakat yang banyak ditangani oleh mufti-mufti dengan berlandaskan hadits, bahkan masuknya unsur-unsur peradaban luar Islam seperti Yunani, Persia, Hindia, neoplatonis dan gnostik kedalam Islam lewat tasawuf dan pengikut madzhab Syi’ah dengan justifikasi dari hadits-hadits maudlu’.
            Disamping sebagai doktrin, hadits merupakan bagian dari sejarah yang tidak terlepas dari kondisi dan sosialnya, selalu memerlukan pembacaan ulang di setiap masanya agar selalu bisa berdialektika dan mewarnai peradaban pada masanya, dengan mengambil maqasid-maqasid dan spirit-spirit keIslaman yang terkandung didalamnya, sehingga  tidak timbul interpretasi yang literalis dan rigid, yang menimbulkan truth claim dan gampang mengecap salah terhadap pemikiran yang berbeda dengan yang dianutnya, dengan adanya penafsiran-penafsiran yang baru yang tidak lepas dari nilai-nilai keIslaman ini akan memperkaya khazanah Islam dan membawa hadits sebagai pemicu kemajuan peradaban Islam dengan ruh-ruh yang penuh toleransi dan open minded terhadap peradaban-peradaban diluarnya, dan tidak menjadi alat justifikasi bagi orang yang berkepentingan atau hanya sekedar hiasan yang tersimpan memenuhi rak-rak buku yang semakin lama semakin usang.
           Membahas perkembangan hadits di Andalus yang merupakan maghrib-nya Islam, merupakan sesuatu hal yang menarik, disamping karakter sosial yang berbeda dengan daerah timur Islam. Secara geografis, Andalus merupakan daerah Islam yang berbatasan dengan Eropa, dimana dua kebudayaan yang berbeda bertemu disini dan saling mempengaruhi antara satu sama lainnya, bertolak dari Andalus pulalah Eropa mencapai kejayaannya yang mencapai kulminasi-nya pada abad ke 14-17 M dengan masa renaisance-nya baik dari evolusi sains, sastra, dan filsafat, dan revolusi agama yang dipelopori oleh Marthin luther dalam mendobrak kekuasaan gereja atas negara dengan mengatas namakan agama, tidak jauh dengan kondisi Eropa pada masa abad pertengahan, Andalus pun dalam pemerintahannya dipengaruhi dan dikuasai oleh madzhab fikih yang diwakili oleh fikih madzhab Maliki, sehingga gejolak keilmuan di Andalus tidak bisa lepas dari kekuasaan fikih yang mengungkung kebebasan berpikir dan menciptakan kejumudan yang cukup panjang dan kumulatif yang mencengkram dan menghantui Andalus.
I. Perkembangan Hadits Masa Awal (masa rasul sampai kodifikasi Umar Ibn Abd Al-Aziz)
               Hadits ditinjau dari terminologi-nya merupakan antonim dari kata Qadim yang dinisbatkan kepada al-Qur’an, sedangkan sunnah adalah sinonim dari thariqah yang berarti jalan yang harus diikuti, walaupun pengertian sunnah dan hadits pada masa awal mempunyai pengertian berbeda, yang mana hadits lebih condong kepada perkataan Rasul, sedangkan sunnah merupakan perbuatan Nabi, sebagaimana disebutkan  dalam Fihris-nya Ibn Nadlim sebuah kitab bernama Kitab Al-Sunan bi Syawahid al-Hadits 2, dan apa yang tersirat dari perkataan muhaditsin pada masa awal, seperti perkataan Abdurrahman Ibn Mahdi ( W 198 H ) : “Sufyan al-Tsauri adalah Imam  hadits, Imam Al-‘Auza’i Imam sunnah dan Imam Malik adalah Imam sunnah dan hadits”3, Tetapi pada masa ulama kholaf walaupun masih banyak yang berusaha membedakan arti hadits dan sunnah,  semuanya hanya perbedaan  pada tataran lafadz, sedangkan dalam konteks ma’na mempunyai kemiripan yaitu segala apa yang disandarkan pada Nabi maka disebut sunnah atau hadits.
              Islam awal merupakan Islam yang sederhana dan praktis, kemudian menjadi kompleks setelah terjadi invansi, penaklukan keluar dan perluasan wilayah yang dilakukan baik oleh Khulafa al-Rasyidin maupun oleh dinasti yang dipimpin oleh qabilah, baik qabilah Umayyah ataupun qabilah Abassiyah, sehingga bertemu dengan berbagai kebudayaan lainnya baik dari Persia, Yunani, India, dengan semakin meluasnya wilayah Islam dan bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang baru, permasalahan barupun banyak bermunculan yang berbeda dengan yang dihadapi Islam Makah ataupun Madinah, dari sini perlu membentuk opini publik dan adanya standar nilai ideal yang dikembalikan kepada sang pembawa risalah sebagai solusi, sehingga timbul perspektif apa yang diperbuat dan diucapkan serta sifat-sifat yang ditunjukannya adalah standar nilai ideal yang harus dilakukan, ini dikarenakan Nabi Muhammad adalah insan kamil yang merupakan wujud dari kehendak ilahi yang harus diikuti sebagaimana dijustifikasi oleh al-Qur’an :
      “Laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah”
Dan dari sinilah hadits dan sunnah muncul sebagai interpretasi wahyu pertama, yaitu al-Qur’an, kemudian hadits atau sunnah mulai berkembang pesat sebagai salah satu fan ilmu setelah selesai masa kodifikasi.
Masa kodifikasi keilmuan Islam selesai pada abad kedua, ini tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah dalam membentuk dan menyusun keilmuan lewat ulama yang hidup pada masa itu, begitu pula perkembangan hadits pada masa awal tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, hadits dianggap sempurna pembukuannya setelah diresmikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99 – 101 H ) yang diketuai oleh Ibn Syihab al-Zuhri, sedangkan pengkodifikasian tafsir, hadits dan fikih yang dilakukan ulama-ulama Syi’ah yang selesai pada masa Imam Ja’far al-Shadiq (80-148 H) tidak dianggap, ini bisa terjadi karena ulama Syi’ah dan Sunni tidak pernah mencapai kata sepakat dalam mendefinisikan ‘ilmu’, satu sama lain menjustifikasi bahwa pendapat dan ilmu merekalah yang benar dan dianggap sah sebagai sebuah ilmu4, sementara pemerintah banyak berpihak dan mendukung  kepada Ahlu Sunnah, dikarenakan mereka tidak pernah suka dengan golongan Alawiyin dan penganut madzhab Syi’ah yang mendukung dan berpendapat bahwa kekhalifahan merupakan hak sayidina Ali dan Ahlul Bait yang merupakan oposisi yang paling besar bagi qabilah Umawiyah dalam mempertahankan kekuasaannya, sehingga pengkodifikasian ilmu hadits dianggap ada setelah pengkodifikasian Ibn Syihab al-Zuhri dari golongan Ahli Sunnah.
 hadits sebelum masa pengkodifikasian Umar bin Abdul Aziz perkembangannya kurang signifikan, karena perkembangannya banyak pada periwayatan bi lisan, sedangkan perkembangan dalam penulisan, banyak bercampur dengan kitab-kitab lainnya, hanya ada beberapa Shuhuf hadits yang tertulis masa itu, seperti al-Shahifah al-Shadiqah milik Umar bin  Abdullah bin Ash, Shahifah Abu Hurairah milik Hamam Ibn Munabbih (W. 101 H.), diantara sebabnya, disamping masa itu kebanyakan shahabat merasa cukup periwayatan hadis dengan lisan dan mengandalkan kuatnya hapalan mereka sehingga sedikit sekali diantara mereka yang mau menulis hadits dalam sebuah buku, faktor peran pemerintahpun amat dominan dalam menahan laju perkembangan penulisan hadits, kurangnya perhatian dari pemerintah saat itu, bahkan terkesan menghambat pertumbuhan hadits, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang membakar hadits yang dikumpulkannya, yang menurut riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa jumlah hadits yang tercatat didalamnya berjumlah  500 hadits 5 dan Khalifah Umar yang melarang memperbanyak periwayatan hadits6, walaupun dengan alasan untuk pemurnian al-Qur’an. Tentang pelarangan ini Abu Hurairah mengatakan seandainya ia meriwayatkan hadits pada masa Umar ia mungkin akan dipukulnya, sehingga sedikit sekali ditemukan penulisan hadits yang tidak bercampur dengan keilmuan lainnya.
              Implikasi dari kurangnya penulisan hadits dalam sebuah buku dan berkembangnya hadits yang menyebar melalui lisan menyebabkan tersebarnya periwayatan dengan makna yang lebih dominan yang mana banyak yang bercampur dengan opini dan penafsiran individu, sehingga kemudian ulama-ulama dari berbagai daerah pada masa itu menyeleksi dan mengklarifikasi setiap hadits yang sampai padanya, dengan adanya penyaringan-penyaringan hadits yang dilakukan oleh ulama tiap daerah, ini menyebabkan perbedaan standar shahih setiap Imam sesuai dengan pengetahuan dan kondisi sosialnya, maka standar shahih di Madinah yang diwakili Imam Maliki berbeda dengan standar shahih ahli Kufah yang diwakili Imam Abu Hanifah, Shahih menurut Imam Bukhari berbeda dengan shahih Imam Hadits lainnya, Karena itulah klarifikasi hadits kepada shahih, hasan dan dlo’if merupakan masalah ijtihad7 . 

II. Transformasi Hadits Ke Andalus dan Perkembangannya
           Ilmu keislaman muncul di Andalus semenjak penaklukan yang dilakukan oleh beberapa shahabat dan tabi’in (92 H-897 H) diantaranya Musa Ibn Nashir yang berasal dari Yaman dan merupakan  salah seorang sahabat Imam Ali Ibn Abi Thalib, Mundzir, Ali Ibn Rabah, Hanasy Ibn Abdullah al-Shan’ani, mereka tidak sekedar membuka dan menaklukan wilayah baru, mereka juga menyebarkan kebudayaan Arab terutama kebudayaan Islam, dengan berkuasanya Islam di Andalus banyak penduduk Andalus yang memeluk agama Islam, ini disebabkan mereka melihat Islam penuh dengan ruh-ruh toleransi, peka terhadap sosial, dan lebih baik daripada penguasa sebelumnya yang banyak menekan dan memeras rakyat lewa pajak yang terlalu tinggi, sebagian dari mereka memeluk Islam untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahkan agar penghasilan mereka tidak berkurang dikarenakan jizyah yang dikenakan oleh pemerintah bagi mereka yang tidak masuk Islam dan tetap bertahan di Andalus.
          Pengajaran yang dilakukan oleh penakluk Andalus merupakan pengajaran Islam secara umum, mereka mengajarkan al-Qur’an, Hadits sebagai penafsiran al-Qur’an, Interpretasi terhadap Nabi dan para Sahabat, hadits yang mengandung hukum-hukum agama, Akhbar tentang sirah nabawiyah dan peperangan pada masa Rasul, Akhbar tentang sahabat, pendapat dan riwayat-riwayatnya, dan ini mendapat sambutan yang hangat sehingga terjadi gerakan-gerakan penerjemahan kedalam bahasa Barbar8 agar lebih memudahkan masyarakat untuk mempelajari keislaman dan mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Andalus,
            Dengan masuknya islam ke andalus secara otomatis haditspun masuk bersama datangnya islam diandalus, ini menandakan bahwa hadits masuk pertama kali pada masa ditaklukannya andalus oleh orang islam, tetapi menurut salah seorang ulama andalus, Ibn Fardli ia mengatakan bahwa  orang yang pertama memasukan ilmu hadits  ke Andalus adalah Sha’sha’ah Ibn Salam al-Syami9  ( terdapat ikhtilaf tahun wafatnya, menurut Abdul malik dalam Thabaqat al-Fuqaha-nya ia wafat pada tahun 192 H sedangkan Ibn Fardli menyebutkan ia wafat  tahun 180 H), disini terjadi paradoks tentang pertamakali munculnya hadits di Andalus, tetapi ketika kita mendefinisikan arti hadits itu sebagai ucapan Rasul, maka kemunculan hadits pertama sudah terjadi pada awal penaklukan Andalus, walaupun masih bercampur dengan penulisan sejarah, hukum, interpretasi al-Qur’an yang lebih condong kepada praktek ‘Amaliyah dan ‘Ubudiyah, yang banyak diterjemahkan kedalam bahasa Barbar, sedangkan Sha’Sha’ah merupakan orang yang pertamakali meriwayatkan hadits bil-ijazah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama hadits,  Sha’Sha’ah adalah Imam Masjid Jami’ di Cordova, ia merupakan Mufti negara pada masa pemerintahan Amir ‘Abdurrahman Ibn Mu’awiyah (138H-172H/755M-788M) dan awal pemerintahan Hisyam Ibn ‘Abdurrahman (173H-180H), ia merupakan ulama fikih dari madzhab al-‘Auza’i yang merupakan madzhab yang dianut oleh masyarakat Andalus pada saat itu sebelum datangnya madzhab Maliki ke Andalus, ia mengambil riwayat dan belajar langsung kepada Imam al-Auza’i dari Syiria yang dulunya merupakan daerah Syam, dan Sa’id bin ‘Abdul Aziz, diantara muridnya di Andalus adalah ‘Abdul Malik Ibn Habib yang kemudian menjadi tokoh madzhab Maliki dan ‘Utsman Ibn Ayub. Pengajaran hadits yang dilakukan Sha’sa’ah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh fikih Auza’i dalam menafsirkan hadits-haditsnya.

III. Madrasah Hadits di Andalus Dan Fenomenanya
             Perkembangan hadits di Andalus tidak sepesat perkembangan hadits di Masyriq (yang diwakili Hijaz, Irak, Mesir) yang mana lebih mengutamakan ruh-ruh toleransi dan nilai keilmiahan, sehingga setiap keilmuan yang tumbuh yang berupa karangan-karangan buku atau pengajaran dengan metode-metode baru mendapat respon yang tinggi dari para ulama, dengan mengadakan pengkajian dan penelitian dengan meninjau maqashid-maqashid dari segi maslahat dan tidaknya, selama tidak keluar dari koridor-koridor keagamaan yang telah ditetapkan, di Andalus setelah masuknya madzhab Maliki pada abad (202 H/817 M) yang disebarkan oleh Ziyad ibn Abdurraman yang masyhur dengan laqab-nya Basytun, Yahya Ibn Mudlor, Isa Ibn Dinar, Yahya ibn Yahya al-Laitsi, dan Abdul Malik Ibn Habib, tiga orang terakhir inilah yang lebih masyhur sebagai generasi awal Maliki di Andalus sehingga dikatakan : ”Ahli fikih-nya Andalus Isa Ibn Dinar, intelektualnya‘Abdul Malik Ibn Habib dan perawinya Yahya Ibn Dinar” 10, dengan masuknya madzhab Maliki ke Andalus, dan konsolidasi yang dibangun para Fuqaha Maliki dengan pemerintah Andalus menciptakan suasana Andalus berada dibawah  kekuasaan fikih Maliki, sehingga keputusan pemerintah diwarnai oleh campur tangan para fuqaha Maliki, ulama yang ingin mendapatkan kenikmatan duniawi dan harta berlimpah dengan mudah memperolehnya dengan memeluk  madzhab Maliki.
             Beberapa faktor yang membuat madzhab Maliki menguasai Andalus diantaranya adalah pemerintahan bani Umayyah di Andalus membutuhkan pendukung untuk memperkuat dinastinya yang mana telah digulingkan di Masyriq oleh dinasti Abasyiah, dan pendukung yang terkuat bagi dinasti mu’awiyah yang masih dini ini adalah tokoh agama yang mempunyai kedudukan dan masa dalam sosialnya, dan saat itu madzhab yang banyak dianut oleh pemuka agama di Andalus adalah madzhab Maliki karena kebanyakan dari mereka belajar kepada Imam Malik Ibn Anas, dengan terpegangnya madzhab Maliki maka pemerintah dengan mudah meminta keta’atan dan kepatuhan masyarakat terhadap negara, dan dengan adanya satu akidah dan satu madzhab dalam negara ini merupakan siyasat yang tepat untuk menuju pada satu tataran politik yang satu dan ini dibutuhkan agar tidak timbul oposisi yang membahayakan pemerintah, yang mana waktu itu belum stabil dan untuk menjaga serangan dari orang-orang Nasroni yang masih punya kekuatan di daerah utara Andalus, disamping itu memudahkan pemerintah untuk mengatur negaranya, begitu pula dengan pemuka Maliki, mereka mendapatkan keuntungan dengan legitimasi negara, dengan mudah menyebarkan dan mempertahankan madzhabnya sehingga mereka tetap mendominasi masyarakat dan tidak khawatir dikalahkan pengaruhnya oleh madzhab lain11 , selain itu masyarakat Madinah memiliki kesamaan  sosiologi dengan masyarakat Andalus yang memudahkan madzhab Maliki diterima oleh masyarakatnya, Sosiologi Madinah yang didominasi oleh Baduwi dan Andalus dengan suku Barbarnya-----12----- , menurut al-Maqdisi - ketika ia mengadakan perjalanan ke Andalus – disana, ketika seorang Qadli akan memutuskan sebuah kasus, maka keputusannya harus sesuai dengan putusan madzhab Maliki, dan ada cerita yang bekembang dimasyarakat bahwa Amir Andalus pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, ada dua tokoh yang menghadap kepada Amir, yang pertama ditanya “ Engkau belajar kepada siapa? ” Ia menjawab ; “ Ulama Maliki di Madinah! ”, kemudian bertanya kepada yang satunya “ Engkau belajar kepada siapa? ”, Ia pun menjawab ; “ Kepada ulama Hanafi di Kufah! ”,  Kemudian Amir itu mengatakan;  “ Cukuplah bagi kami ilmu dari kota Rasul ”.menurut salah seorang orientalis bahwa Jawaban  Amir ini, tidak lepas dari pengaruh politik pada masa itu, yang mana diketahui bahwa diantara guru Imam Hanafi adalah Imam Ja’far Ash-Shadiq yang merupakan tokoh besar syiah, dan dinasti Umayyah punya luka yang pahit degan syiah yang mana kekuasaan mereka yang digulingkan oleh dinasti Abassiyah yang didukung oleh kelompok syi’ah dan Mu’tazilah, tetapi asumsi ini amatlah tidak berdasar kalau kita melihat bahwa Imam Malikpun pernah berguru kepada Imam Jafar Ash-Shadiq, jawaban amir lebih merupakan penyatuan faham di masyarakat andalus agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan yang bisa mengancam posisi pemerintah yang masih lemah kala itu, sebagaimana telah terjadi pemberontakan pada masa Abdurrahman Ad-Dakhil yang muncul dari bangsa barbar ketika muncul seorang tokoh bernama Syaqa Ibn Abd Al-Wahid yang menasabkan diri pada Sayidah Fatimah dan menjuluki dirinya sebagai Imamah yang berhak memegang pemerintah, sehingga timbul peperangan yang cukup lama (152H-160H) dan kalau terjadi hal ini lagi, ini bisa membahayakan eksistensi daulah Umawiyah di Andalus.                                                                                    
           Dengan berkuasanya madzhab Maliki di Andalus, di satu sisi ia mengembangkan pertumbuhan hadits di Andalus sehingga di Andalus pun marak dengan kajian-kajian hadits, dikarenakan kiblat mereka kepada Imam malik di Madinah yang terkenal sebagai Ahlu Hadits, disisi lain dengan suasana fanatisme madzhab Maliki yang mendominasi semenjak munculnya madzhab Maliki di Andalus menahan laju pertumbuhan hadits-hadits yang berasal dari berbagai madzhab selain Maliki, banyak ahli hadits yang tidak menganut madzhab Maliki mendapat kesulitan untuk menyebarkan ilmunya, karena dianggap akan mengancam eksistensi madzhab Maliki di Andalus, sehingga para fuqaha selalu memantau perkembangan ilmu diluar madzhab Maliki, ini menyebabkan hadits yang banyak berkembang di Andalus adalah hadits-hadits dari para ulama Maliki, terutama riwayat dari Imam malik dan muwatha’nya, sehingga ulama Hadits diluar madzhab Maliki mendapat kesulitan untuk menyebarkan haditsnya, dan banyak yang mengasingkan diri dari pemerintah dengan menampakan hidup zuhud serta tidak ikut campur dengan masalah pemerintahan, dan ini berbeda dengan Ahli Hadits di Masyriq yang mempunyai kesempatan untuk menjadi Qadli dengan tanpa menggunakan keputusan dari satu madzhab, dan ikut berperan dalam negara.
A.   Tonggak Madrasah Hadits di Andalus
Pada masa awal pemerintahan dinasti Umayyah di Andalus muncul dua orang tokoh hadits yang benar-benar murni dan tidak terpengaruh oleh madzhab-madzhab fikih, yaitu Muhammad Ibn Wadlah dan Baqi Ibn Makhlad.
              Muhammad Ibn Wadlah Ibn Buji’, (terdapat khilaf dalam tanggal lahir, pendapat pertama mengatakan ia lahir tahun 190 H, dan yang kedua mengatakan ia lahir tahun 202 H, dan sepakat bahwa ia meninggal tahun 287 H),walaupun kebanyakan guru-gurunya baik di Andalus maupun di Masyriq adalah tokoh-tokoh Maliki tetapi ia memandang Imam Malik Sebagai Muhadits bukan sebagai ulama fikih, walaupun ia mengatakan bahwa perjalanannya ke Masyriq bukan untuk mencari hadits, melainkan untuk ibadah dan belajar menempuh hidup zuhud, tetapi meninjau bahwa kebanyakan dari gurunya adalah ahli hadits, ini menandakan perjalanannya ke Masyriq tiada lain untuk mencari dan memperdalam hadits, sedangkan alasan yang dibuatnya hanya merupakan apologetik yang biasa digunakan oleh ulama salaf untuk menunjukan sifat tawadlu mereka. Tidak seperti kebanyakan ulama Maliki lainnya, walaupun mereka banyak yang belajar hadits tetapi ketika kembali ke Andalus mereka terjun dan berkecimpung di dunia Fikih, yang mana prospeknya lebih cerah, Muhammad Ibn Wadlah tidak tertarik dalam dunia fikih dan memfokuskan diri pada hadits, ia merupakan ulama Maliki yang pertama yang mengkhususkan diri dibidang hadits, walaupun ia tidak menyebarkan hadits lewat karya dan tulisan tetapi peran besarnya menyebarkan hadits lewat lisan dan keahliannya dalam bidang hadits cukup kompeten di Andalus, ia jeli dan teliti dalam meriwayatkan dan mendengarkan hadits, hafal ribuan hadits, sehingga banyak masyarakat Andalus yang belajar dan datang kepadanya untuk belajar hadits atau untuk mengetahui keshahihan hadits yang didapatnya dari orang lain 13.
             Kemudian muncul muhadits yang bukan dari kalangan Maliki, Baqi Ibn Makhlad (201H-276H/816M-889M) dari Cordova, ia sejaman dengan Muhammad Ibn Wadlah, setelah ia mengadakan perjalanan ke Masyriq dan mengambil pelajaran dari ulama-ulama besar hadits pada masanya, kembali ke Andalus dengan membawa kitab yang di Masyriq pun terbilang baru, diantaranya, kitab Alfiqh Al-Kabir Milik Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I, walaupun ia tidak bermadzhab Syafi’I atau Maliki, tetapi ia punya pandangan sendiri yang lebih cenderung kepada fikih al-Qur’an dan fikih hadits, Kitab Tarikh dan kitab yang berisikan Thabaqat milik Khalifah Ibn Khiyat dan kitab Siyar ‘Umar Ibn ‘Abdul Aziz R. A. milik Ad-Dauraqi, kemudian ia pun mengarang kitab tafsir Al-qur’an yang mendapat pujian dari Ibn Hazm “ Saya belum menemukan kitab tafsir seperti tafsirnya Baqi, yang lebih maju dari tafsirnya Muhammad Ibn Jarir At-Thobari atau ulama lainnya”, dan Musnad An-Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam yang mendapat pujian bahkan dari ulama Masyriq, sebagaimana diceritakan oleh Thahir Ibn ‘Abdul Aziz, ketika ia pergi ke Masyriq, dan memperlihatkan Musnad Abu Abdurrahman Baqi Ibn Makhlad, kepada Ismail As-Shaig ia memuji: ” sungguh tidak dikenal pengarangnya kecuali ia seorang yang keilmuannya sungguh menakjubkan, banyaknya pengetahuan yang ia miliki ”, apa yang dilakukan Baqi dalam mentranformasikan keilmuannya di Andalus merupakan terobosan baru, karena ia mengkompilasikan Banyak hadits dalam satu kitab berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad  di Masyriq dalam musnadnya, kemudian menyusunnya dengan berdasarkan urutan bab fikih, dan menjelaskannya dengan istinbat dan ijtihad  sendiri, sehingga kitabnya mencakup  hadits dan fikih secara bersamaan dalam satu buku (musnad yang berisi fikih) dan ia pun menulis kitab yang berisi fatwa-fatwa Shahabat dan Tabi’in, Baqi tidak hanya mengajarkan Hadits sebagaimana Muhammad Ibn Wadlah, dengan posisinya sebagai ulama di Andalus ia merasa prihatin dengan suasana ta’ashub yang menyelimuti Andalus, sehingga disetiap kesempatan ia selalu mengajak masyarakat agar kembali kepada Atsar, dan meninggalkan taqlid buta terhadap madzhab Maliki, dan ia mengajarkan kitab Al-Ikhtilaf wa Garaib Al-Hadits milik Ibn Abi Syaibah di mesjid jami’, melihat metode pengajaran yang disampaikan Baqi mengancam madzhab Maliki, maka para Fuqaha Maliki yang dipimpin oleh ‘Abdullah Ibn Khalid, Muhammad Ibn Al-Harits, Abu ‘Abdurrahman Ibn Ibrahim mengadakan konspirasi untuk menjatuhkan dan menjegal Baqi, mereka mengadu kepada Amir Muhammad Ibn ‘Abdurrahman  dan mengatakan bahwa Baqi Ibn Makhlad telah keluar dari koridor-koridor Islam dan menghasut serta memecah belah masyarakat, kemudian Baqi dipanggil ke Istana dan diperintah untuk membacanya didepan ulama-ulama Maliki, dan ia membantah segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya, sehingga terbuka pikiran Amir Muhammad, dan melepaskan serta melarang orang untuk mencegah pengajaran Baqi Makhlad, kemudian ia memerintahkan untuk meng-cofy Nuskhah Musnad Ibn Abi Syaibah tersebut14 . suasana fanatisme madzhab Maliki pada saat itu bisa digambarkan lewat ucapan Asbag Ibn Khalil yang merupakan tokoh besar fikih : “ Seandainya di dalam petiku terdapat kepala babi, itu lebih kusukai dari pada di dalamnya terdapat kitab Musnad Ibn Abi Syaibah15.
               Berkat usaha yang dilakukan oleh Muhammad Ibn Wadlah dan Baqi Ibn Makhlad dalam mengembangkan dan mengajarkan hadits, kemudian banyak bermunculan ahli-ahli hadits di Andalus, kedua orang ini dianggap sebagai tonggak Madrasah hadits di Andalus, yang banyak melahirkan ulama-ulama hadits di Andalus. kemudian muncul tokoh hadits setelahnya yang belajar langsung kepada kedua orang tersebut, yaitu Qasim Ibn Asbag (244-340 H/861-951 M) dari Cordova, ia belajar di Andalus diantaranya kepada Asbag Ibn Khalil yang merupakan ahli fikih yang berseteru dalam pemikiran dengan Baqi Ibn makhlad, Abdullah Ibn Masarah, kemudian mengadakan perjalanan ke Masyriq  bersama Muhammad Ibn ‘Abdul Malik Ibn Aiman, dan Muhammad Ibn Zakariya pada tahun 270H, Ia belajar kepada ulama Makah, Iraq, Mesir dan Qairuwan  diantara gurunya di Masyriq ialah, Ahmad Ibn Hanbal, Muhammad Ibn Ismail At-Tirmidzi, Ahmad Ibn Zuhair yang kemudian ia menulis Tarikhnya Ibn Zuhair, ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Qasim Ibn Asbag banyak mengarang kitab yang panjang kemudian meringkasnya dan menamainya Al-Mujtana yang kemudian dihadiahkan kepada Amir Hakam Al-Mustanshar, yang termuat didalamnya kumpulan hadits musnad sebanyak 2470 hadits dalam 7 jilid, dan ia banyak menulis kitab hadits dan mengurutkannya sesuai dengan bab fikih sebagaimana yang dilakukan oleh Baqi Ibn Makhlad,  kemudian ia mengarang beberapa kitab yang menjelaskan shahih dan garibnya hadits, diantara karya-karyanya ialah: kitab Al-Ansab, Kitab Fi Fadlail Bani Umayah, Kitab fi Fadlail Qurays, Kitab fi Sunan wa fi Ahkam Al-Qur’an, Kitab An-Nasikh wa Al-Mansukh, Kitab fi Hadits mima laisa fi Al-Muwatha’, tetapi yang amat disayangkan kebanyakan kitab nya hilang, yang tersisa hanya catatan nama-nama kitabnya yang ditulis oleh para ahli sejarah, disamping banyak menghasilkan karya, Qasim Ibn Asbag amat berjasa dalam memasukkan kitab-kitab besar dalam hadits ke Andalus, diantaranya kitab Musnad Muhammad Ibn Isma’il At-Tirmidzi, diantara keistimewaan Qasim Ibn Asbag ia berumur panjang, sehingga banyak orang yang berguru dan meriwayakan darinya dan ini membuatnya masyhur dikalangan muhaditsin Andalus, sehingga ia merupakan tokoh hadits yang berpengaruh di Andalus. dan pada zamannya dengannya Muhammad Ibn ‘Abdul Malik Ibn Aiman dari Cordova yang menulis kitab As-Sunan16, diantara muhadits besar di Andalus lainnya ialah Ibn Al-Qhutiyah (W.366H), yang berasal dari Sevilla, dalam interpretasi hadits dan pengajarannya ia banyak bertentangan dengan ulama pada masanya, dan menyandarkan padanya bahwa ia seorang yang menafsirkan hadits sesuka hatinya, lebih mengutamakan ma’na dan pemahaman akal dibanding lafadz 17, pada masa Qasim Ibn Asbag banyak bermunculan muhaditsin, seperti Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Hayun Al-Hijari (W. 305 H), seorang ahli hadits yang banyak periwayatannya, tetapi kemudian ia dituduh keluar dari madzhab Maliki dan menganut madzhab Syi’ah, membuat ia hidup menjauh dari masyarakat khawatir akan terjadi tuduhan yang bisa membahayakan dirinya, karena berbeda dengan faham yang dianut oleh masyarakatnya, Ibn Al-Habab (W.305 H) seorang faqih dan muhadits yang luas ilmunya, tetapi ia meninggalkan kehidupan kemegahan dunia dan hidup zuhud sehingga perannya dalam menyebarkan hadits di Andalus kurang signifikan, dan banyak pula tokoh-tokoh ulama Andalus yang menguasai hadits, tetapi mereka lebih banyak yang terjun dan mengajarkan fikih dibanding hadits, dan sebagian mereka banyak yang menjalani kehidupan zuhud sehingga pengajaran mereka tidaklah begitu meresap dan berkembang dimasyarakat
 Ibn Wadlah, Baqi Ibn Makhlad dan Qasim Ibn Asbag merupakan ulama hadits yang mengerti keadaan masyarakatnya, dan berusaha mengembalikan masyarakatnya kepada qur’an dan sunnah, mereka tidak menjauhkan diri dari masyarakat dengan ber’uzlah dan tidak menunjukan sikap menentang pemerintah, sehngga membuat kehidupan mereka lebih terjamin dalam mengamalkan keilmuannya, mereka Ulama hadits paling masyhur pada zamannya dan mewakili tokoh hadits yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan madzhab, dengan beristinbat  dalam fikihnya yang berasaskan pada Qur’an, Hadits dan Fiqih pebandingan, yang mana menurut Imam Abu Zahra, dari ketiga tokoh hadits inilah (Ibn Makhlad, Baqi Ibn Wadlah, Qasim Ibn Asbag) madzhab Dzohiri bisa berkembang di Andalus, yang mencapai puncaknya ditangan Ibn Hazm 18, walaupun ketiganya tidak mendeklarasikan dan menunjukkan diri sebagai seorang Dzohiri, tetapi pemikiran mereka dan pengajaran-pengajaran yang mereka usung membawa unsur-unsur Dhohiri yang berusaha mengembalikan dan mengajak masyarakat untuk kembali kepada sunnah dan Atsar, landasan dan inti daripada madzhab dzohiri adalah menjauh dari memihak madzhab, dan kembali kepada Hukum dari Al-qur’an dan sunnah sebagai sumber, dengan kebebasan untuk mengambil keputusan, sebagaimana dikatakan oleh pendiri madzhab Adz-Dzohiri, Abu Sulaiman Dawud Ibn ‘Ali Ibn Kholaf Al-Baghdadi(terdapat perbedaan kelahiran,pendapat pertama ia dilahirkan tahun 200H, sedangkan pendapat kedua ia lahir pada tahun 202H, dan wafat pada tahun458H) yang kemudian masyhur disebut Daud Adz-Dzohiri:  “sumber dari syari’at adalah nash, karena tidak ada ‘ilmu dalam Islam kecuali nash, dan qiyas itu bukanlah sumber syariat, maka janganlah mempergunakan qiyas”, dan menurut Imam abu zahra  bahwa pengikut madzhab dzahiri tidak mengklaim mereka bermadzhab dzahiri berbeda dengan ulama-ulama madzhab lainnya, tetapi mereka berusaha melepaskan diri dari taqlid Imam Madzhab yang waktu itu menyelimuti dunia islam umumnya,sebagaimana diketahui bahwa daud Adz-Dzahiri merupakan salah seorang murid Imam Syafi’I, dan inti daripada pemikiran daud Adz-Dzahiri adalah mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah dan mencukupkan pada keduanya, sehingga dalam memutuskan perkara mereka langsung mengacu pada keduanya tanpa melalui pendapat Imam Madzhab dan ini membuat mereka terjebak dalam penafsiran yang tekstual dan literalis, sehingga mereka dianggap bermadzhab tekstual(Dzahiri),
B. Ibn Hazm dan Hadits
             Madzhab Dzahiri dari awal kemunculannya berusaha mengembalikan hukum kepada al-Qur’an dan sunnah, sehingga buku-buku yang ditulis oleh Daud Adz-dzohiri banyak berisikan hadits , dan mengajak untuk membuka kebebasan berijtihad dan memilih hukum yang sesuai dari dua nash itu secara langsung, yang mana berusaha membebaskan Ruh-Ruh Ta’ashub pada satu madzhab.
               Setelah redup cahaya madzhab adz-dzahiri ditimur dengan datangnya Abi Ya’la (W.458H) membawa madzhab hanbali menempati tempatnya madzhab Dzohiri, di maghrib mulai bersinar ditangan Ibn Hazm,  Abu Muhammad ‘Ali Ibn Ahmad ibn Sa’id Ibn Hazm (384H-456H) merupakan tokoh madzhab Dzohiri yang berpengetahuan luas dan pemahaman yang mendalam, dari segi Fikih, Sejarah, Syair, dan keilmuan Islam lainnya, dalam hadits pun ia memiliki metode yang berbeda, ia tidak berangkat dari fikih ke hadits sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama madzhab, tetapi dari hadits ke fikih, sehingga ia berijtihad sendiri dalam mengklarifikasikan hadits, yang lebih terpaku pada penafsiran literal, walaupun ia menafsirkan hadits secara harfiyah, tetapi gaya pembelaannya banyak menggunakan uslub mantiq filsafat,ini tidak bisa dilepaskan karena ia seorang tokoh yang Ibn Hazm menilai perbuatan Nabi bukan merupakan sunnah, kecuali dibarengi dengan ucapan atau terdapat qarinah yang menempati tempatnya ucapan, karena yang wajib tampak bagi mereka adalah ucapan, dalam hal riwayatpun ia mema’nai tawatur adalah hadits yang disampaikan dua orang atau lebih, yang menarik ia tidak menyandarkan pada ma’na dua secara bilangan, tetapi lebih pada ma’na dan menyandarkannya pada sosiologi masyarakat, bahwa dua orang yang terpisah dan tidak pernah bertemu sekalipun kemudian meriwayatkan satu hadits yang sama, itu jelas ia tidak bisa berbohong, walaupun orang banyak seperti 40 tetapi bertemu dalam satu majlis itu memungkinkan mereka berbohong, sehingga ibrah dari sini hadits mutawatir adalah hadits yang berusaha mencegah sesuatu yang menunjukkan terjadinya kebohongan pada hadits tersebut, bukan terpaku pada jumlah, kemudian pendapatnya dalam hadits ahad, bahwa segala hadits ahad wajib diamalkan dengan yakin, ini berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu lebih dari satu, dan hadits ahad merupakan perkara dzonni, sehingga harus ada yang meyakinkannya, seperti yang dilakukan oleh abu bakar, yang meminta saksi ketika ada yang meriwayatkan hadits yang berasal dari Nabi, baru kemudian diyakini setelah adanya saksi, disini ibn hazm membedakan antara riwayat dengan syahadat (saksi dalam kasus pidana), dengan berlandaskan “apa yang diberikan Rasul ambillah dan yang dilarang tinggalkan”(al-Qur’an), disini tidak ada lafadz yang menunjukkan saksi sehingga saksi tidak wajib dalam hadits ahad, Ibn hazm mensyaratkan bersambungnya sanad sebagai syarat diterimanya hadits, sehingga ia tidak menerima hadits mursal, kecuali ada konsensus ulama, tidak adanya pertentangan antara dua nash(al-Qur’an dan sunnah), pendapatnya dalam keutamaan shahabat berbeda dengan yang di tulis oleh banyak ulama, ia mendasarkan pada derajat kepandaian dan pengaruhnya. Walaupun banyak ulama yang menganggap bahwa hadits Ibn Hazm banyak yang tidak mutwatir, ini dikembalikan bahwa standar hadits shahih, hasan dan dla’if, ahad dan mutawatir dalam jumlah bilangannya adalah masalah ijtihadi, dan hal wajar bahwa standar mutawatir dan ahadnya ibn hazm berbeda dengan standar ulama hadits lainnya.
B.    Ibn ‘Abdil Barr
             Yusuf Ibn ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn ‘Abdul Bar Ibn ‘Ashim (368H-463H/976M-1070M) dari Cordova, kemudian ia berpindah ketimur Andalus dan menetap di Denia, kemudian pindah ke Sevilla dan meninggal di Sativa. pertamakali ia memeluk madzhab Dzahiri, kemudian ia kembali kepada qiyas dengan meninggalkan taqlid kepada Imam, yang mana qiyas ini amat ditentang oleh ulama Dzahiri, sehingga banyak yang menganggap ia bermadzhab Maliki, tetapi dalam banyak hal ia lebih condong terhadap pendapat Syafi’I, ia kemudian belajar Sunan Abu Dawud kepada Muhammad Ibn ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn ‘Abdul Mu’min, kemudian belajar An-Nasikh wa Al-Mansukh milik Abu Dawud dan kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal Isma’il Ibn Muhammad As-Shafar, Musykil milik Ibn Qutaibah, dan beberapa kitab hadits dan tafsir kepada ulama-ulama pada zamannya, diantara muridnya ialah Abu Muhammad Ibn Hazm salah seorang tokoh Dzahiri di Andalus dan ia mengagumi Ibn Abdul Bar “Saya belum menemukan orang yang lebih faqih dalam fikih hadits dari pada Ibn Abdul Bar”, walaupun ia guru dari ibn hazm tetapi ia masih hidup selama 7 tahun setelah wafatnya ibn hazm, kemudian Hafidz Abu ‘Abdullah Alhumaidi, Abi ‘Umar Ibn Ahmad Ibn ‘Abdullah Ibn pengarang kitab Jadwah al-muqtabis, Muhammad Ibn Al-Baji, Abu Alfathi pengarang kitab Al-Bagawi dari mesir, Abu Al-Fath Ibn ‘Ubaidillah Dari Hijaz, diantara karangan Ibn ‘Abdil Barr ialah:
1.    At-Tamhid Lima fi Al-Muwatha’min Al-Ma’ani wa Al-Asanid yang berisi biografi guru Imam malik berdasarkan urutan abjad, sebanyak 70 jilid, 
2.    Al-Istidzkar Li madzhab Ulama  Al-Anshar fima Tadzammanahu Al-Muwatha’ Min Ma’ani Ar-Ra’yi wa Al-Atsari, yang berisikan syarah Muwatha’ ditinjau dari sudut pandangnya sendiri, kedua kitab inilah yang menempatkan ia sebagai salah satu pensyarah Muwatha’ paling masyhur,
3.    Al-Isti’ab Fi Asma As-Shahabat yang berisikan biografi shahabat beserta keadaan dan kisahnya, ia merupakan pengarang pertama yang memakai metode ini sebelum Ibn Hajar pengarang kitab Fathul Bari menulis kitab At-Tamhid,
4.    Al-Kafi fi madzhab Malik sebanyak 15 jilid, kitab ini merupakan ringkasan madzhab malik ditulis untuk memudahkan orang dalam mengambil pendapat malik,
5.    Jami’u Bayani Al-‘Ilmi wa Fadzlihi wa ma Yanbagi fi Riwayatihi wa Hamlihi,
6.    Al-Inbah ‘An Qabail Ar-Ruwat,
7.    At-Taqasha fi Ikhtisari Almuwatha’,
8.    Al-Intiqai Li Madzahib Ats-Tsalasah Al-‘Ulama Malik wa Abi Hanifah  wa Asy-Syafi’I,
9.    Al-Iktifa Fi Qira’ah Nafi wa Abi ‘Amr,
10. Al Bayan fi Tilawah Al-qur’an,
11. Al-Ujubah Al-Mau’ibah,
12. Almaghazi,
13. Al-Qasdu wa Al-Umam fi Nasb Al-‘Arab wa Al-Azam,
14. Asy-Syawahid fi Itsbati Khabar Al-Wahid,
15. Al—Inshaf Fi Asma Allah,
16. Al-Faraidl,
17. Al-Kunya,
18. Asy’ar Abi Al-‘Atahiyat 19
19. Ibn ‘Abdil Barr merupakan seorang tokoh hadits yang amat masyhur, karangannya banyak dikaji dan digunakan oleh ulama hadits di Masyriq, dan ia merupakan maraji’ dalam hadits. yang kemudian banyak sumbangsihnya dalam perkembangan hadits di dunia Islam  baik di Masyriq atau maghrib sampai saat ini.

IV.Kontribusi Andalus terhadap dunia muslim dalam bidang hadits
           Walaupun perkembangan keilmuan keagamaan di Andalus pada awalnya merupakan transmisi dan repetisi dari keilmuan keagamaan ditimur, ini adalah sesuatu yang wajar karena islam porosnya berasal dari timur, tetapi disamping melestarikan keilmuan dari timur, mereka pun berhasil menyumbangkan karyanya ketimur, jadi tidak hanya repetisi semata, dan peradaban Andalus bukanlah sebuah peradaban yang berbeda dengan Masyriq seperti disinyalir oleh ‘abid aljabiri (peradaban timur kental dengan suasana mistik dan barat merupakan peradaban rasional), tetapi peradaban Andalus merupakan peradaban yang i’tha wa ibdal (take and give) 20 karena antara timur dan barat dalam artian timur merupakan daerah mesir, syam,persia,hizaz dan sekitarnya, dan barat dalam artian maroko, tunis Andalus, dan sekitarnya, epistem yang membentuknya merupakan epistem yang saling mengisi dan mewarnai. Diantara sumbangsih Andalus dalam bidang nahwu, alfiyah yang dikarang oleh Ibn Malik, salah seorang ulama Andalus yang sampai saat ini menjadi standar umum kajian nahwu, Imam syatibi yang mengembalikan ushul fiqih kepada maqasid syari’ah. Dan banyak keilmuan lainnya yang berhasil disumbngkan Andalus.
              Begitu pula dalam hadits, Andalus mempunyai sumbangsih besar dalam ilmu keislaman,  Walaupun kitab Muwatha’ Imam malik diklaim sebagai kitab fikih, tetapi banyak ulama yang menganggap dan mensejajarkan kitab Muwatha’dengan kitab hadits, yang tidak kalah nilainya dengan kitab hadits yang disusun oleh Imam Bukhari, muslim, dan yang dikarang oleh ulama lainnya,seperti sunan milik Tirmidzi, Nasai, dan Imam lainnya, bahkan beberapa ulama menganggap lebih utama dalam tingkatannya dibanding dengan Shahih bukhari dan Muslim karena klarifikasi yang dilakukan Imam malik amat selektif sehingga kompilasi kitab Muwatha’  baru selesai dalam masa 40 tahun, diantara ribuan ulama yang belajar kepada Imam Maliki, hanya dua puluh ulama yang banyak diambil riwayatnya, diantara mereka adalah yahya Ibn Yahya Al-Laitsi Al-Andalusi Al-Mashmudi dari Cordova yang banyak diambil riwayatnya, ia merupakan salah seorang ulama Andalus keturunan suku Barbar, kontribusi dan pengaruhnya amat besar dalam melestarikan Muwatha’ , Muwatha’ riwayat yahya lah yang kemudian tersebar dan sampai kepada kita sekarang, dan ‘Abdullah Ibn ‘Abdul Bar yang mempunyai metode yang mapan dan istiqra dalam meneliti hadits, yang terkenal sebagai pensyarah kitab Muwatha’ dengan karyanya At-Tamhid Lima fi Al-Muwatha’min Al-Ma’ani wa Al-Asanid yang berisi biografi guru Imam malik berdasarkan urutan abjad, dan merupakan kitab yang amat pantastis sebanyak 70 jilid dan Al-Istidzkar Li madzhab Ulama  Al-Anshar fima Tadzammanahu Al-Muwatha’ Min Ma’ani Ar-Ra’yi wa Al-Atsari, yang berisikan syarah Muwatha’ yang banyak memuat pandangan baru yang berbeda dengan ulama sezamannya, selain pensyarah muwatha’ lainnya seperti Alhafidz Abu bakar Ibn Muhammad Ibn Al-‘Arabi, Jalaludin As-Suyuti, Az-Zarqani, Ad-Dahlawi, Syekh ‘Ali Al-Qari Al-Maki, Al-Laknauwi yang merupakan Imam khalaf dari india (At-Ta’liq ‘Ala Muwatha’ Al-Imam Ahmad)21 , kemudian kitab abdil barr Al-Isti’ab Fi Asma As-Shahabat yang kemudian menginspirasi ibn hajar untuk membuat karya At-Tamhid yang menggunakan metode ibn ‘abdil barr, dan banyak lagi ulama lainnya, seperti Musnad karya Baqi Ibn Makhlad, almujtana karya Qasim ibn asbag, As-Sunan milik Ibn Aiman, baik yang sampai pada kita saat ini, atau hanya tinggal tertulis oleh tinta emas pada lembaran-lembaran sejarah
VI.Perbedaan Hadits ditimur dan di Andalus
               Dari penaklukan yang dilakukan oleh shahabat 92H sampai datangnya Abdurrahman Ad-Dakhil 138H, Andalus secara politik mengikuti dan berkiblat pada pemerintah pusat di Masyriq, dengan letak geografis yang jauh dari pusat, menyebabkan kurangnya perhatian dari pemerintah, dan letaknya yang jauh dari Masyriq yang merupakan poros hadits sehingga kurangnya perhatian masyarakat Andalus terhadap hadits, dan lebih memfokuskan pada penyebaran dan pembelajaran al-qur’an yang merupakan wahyu yang pertama yang diturunkan kepada Rasul. Kemudian penyebaran hadits di Andalus banyak dilakukan oleh para fuqaha, sebagaimana Sha’Sha’ah dari madzhab Auza’i, Habib Ibn Malik, Yahya Ibn Yahya dari madzhab Maliki, sehingga penyebaran hadits di Andalus beroriantasi dari fikih menuju hadits, ini berbalik dengan di Masyriq yang bertolak dari hadits menuju fikih, ulama-ulama diMasyriq bertolak dari hadits kemudian menjadi seorang faqih, seperti Imam Malik Ibn Anas, Imam Syafi’I, Ahmad Ibn Hanbal, dll.

(Maaf Bagannya belum Bs dimasukkan)









   







                                      
 
                             
  
   (contoh bagan pertumbuhan hadits di Masyriq)           (contoh bagan hadits di Andalus)
              Perbedaan paradigma awal perkembangan hadits di Timur dengan di Andalus menimbulkan corak yang berbeda pada perkembangannya, yang pertamakali menyebar ditimur adalah hadits, kemudian hadits ini melalui proses periwayatan yang mana mulai bergesekan dengan penafsiran individu disesuaikan dengan sosiologi masyarakatnya, penafsiran ini kemudian mempengaruhi dan membentuk hukum, tiap ulama berbeda dalam menafsirkan suatu hadits, sehingga masing-masing membentuk qaidah-qaidah dalam mengklarifikasikan hadits mereka,  yang mana tiap ulama mempunyai perangkat sendiri yang berbeda dengan ulama lainnya dalam menerima sebuah hadits yang kemudian mereka susun dengan beberapa perangkat ijtihad mereka dan sesuai dengan kondisi masyarakatnya yang kemudian dari sinilah terwujud Fikih, perbedaan klarifikasi dan perangkat yang dipergunakan oleh setiap ulama menjadikan berkembangnya pendapat yang kemudian disebarkan dan dilestarikan oleh pengikutnya sehingga membentuk sebuah madzhab, ditimur banyak bermunculan madzhab, diantaranya madzhab Abu Hanifah, madzhab Imam Malik , madzhab Imam Syafi’I, madzhab Imam Ahmad, Madhab Dawud Adz-Dzahiri, madzhab Al-Auza’I, madzhab Imam Ats-Tsauri, dan madzhab Lainnya, dengan banyaknya madzhab ditimur, dan Negara yang membebaskan masarakatnya untuk mengikuti madzhab yang sesuai dengan mereka, haditspun mengalami perkembangannya, sehingga hadits tetap terbuka dan relevan untuk selalu berkembang lewat penafsiran-penafsiran baru baik melalui perangkat madzhab fikih maupun perangkat independen dari hadits sendiri, yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu baru baik dalam riwayat maupun dirayat, seperti Klasifikasi hadits dalam shahih yang dilakukan Imam Bukhari dan Muslim, Hadits hasan dan dlo’if, Ilmu Jarh wa Ta’dil yang tersimpan pada kitab Thabaqat Ibn Sa’ad, milik Az-Zuhri Al-Bashri (230H), trilogi Tarikh milik Imam Bukhari (256H), ‘Ilmu Rijalil Hadits, orang yang pertama sibuk dan konsen dalam ilmu ini ialah Imam Bukhari, yang kemudian dimasa selanjutnya diteruskan Ibn Hajar Al-‘Asqalani (852H) dalam bukunya Al-Ishabat fi Tamyiz As-Shahabat yang kemudian diringkas oleh muridnya Imam As-Suyuti (911H) di bukunya ‘Ain Al-Isabat, Ilm Mukhtalaf Al-Hadits yang dilakukan oleh Imam Syafi’I (204H), Ibn Qutaibah (276H), ‘Ilm ‘Ilal Al-Hadits yang ditulis oleh Ibn Al-Madini (234H), Di Masyriq, Imam Muslim (261H), Imam Ad-Daruqutni, Ilm Garib Al-Hadits, orang yang pertama menulis buku dalam ilmu ini ialah Abu ‘Ubaedah Muamar Ibn Al-Mutsana Al-Bashri (210H), kemudian Abu ‘Ubaed Al-Qasim Ibn Salam (223H), Ibn Qutaibah (276H), Az-Zamakhsyari (538H), Ilm Nasikh wa Mansukh, yang ditulis oleh Ahmad Ibn Ishak Ad-Dinari (318H) dalam bukunyaNasikh Al-Hadits wa Mansukhuhu,Al-Ashbihani (322H), Muhammad Ibn Musa Al-Hazimi, Ibn Al-Jauzi (597H).
                Berbeda dengan perkembangan hadits di timur, Hadits di Andalus terpengaruh oleh satu madzhab fikih yang berkuasa di Andalus, yaitu fikih Maliki, Ulama Fikih yang didukung oleh pemerintah, banyak menyebarkan hadits-hadits dari madzhabnya, sehingga yang banyak berkembang di Andalus adalah hadits-hadits riwayat Imam Malik, Syarat untuk menjadi seorang Qadli pun pada masa awal pemerintahan bani Umayah adalah mereka yang menganut madzhab Maliki, sehingga orang yang diluar Maliki, banyak membungkus jati diri mereka dengan memutuskan hukuman dari pendapatnya Maliki, seperti yang dilakukan oleh Mundzir Ibn Sa’id (W.355H) yang berfaham Syi’ah22 , ruh-ruh toleransi yang amat mahal harganya begitu terabaikan, banyak ahli hadits yang berusaha mengembangkan keilmuan hadits mendapat tekanan tinggi dari ulama madzhab Maliki, sebagaimana yang dialami oleh baqi Ibn makhlad, sehingga mereka banyak menyebarkan hadits terbatas pada tataran riwayat, ini menyebabkan perkembangan hadits terbatas pada ilmu hadits riwayat, walaupun pemerintah menekan dan menahan pertumbuhan madzhab lainnya, banyak ahli hadits yang berusaha mengajak masyarakat agar meninggalkan taqlid buta dan kembali pada sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh 2 orang tokoh awal hadits yaitu Muhammad Ibn Wadlah dan Baqi’ Ibn Makhlad yang menyebarkan hadits pada masa awal kekuasaan fiqih maliki dan dinasti muawiyah yang kemudian membentuk dan membangun gerakan kembali pada sunnah, dan dikembangkan oleh muridnya Qasim Ibn Asbag kemudian berpengaruh dalam pembentukan madzhab Dzohiri di Andalus yang kulminasinya berkembang ditangan Ibn Hazm. Walaupun Ahli Hadits berusaha mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, tetapi karya yang sampai pada kita dan memberikan sumbangsih amat besar dalam hadits, merupakan karya-karya hadits yang berasal dari Maliki terutama Muwatha’nya lewat riwayat Yahya Ibn Laits dan Syarah Muwatha’ yang paling masyhur yaitu 2 kitab Syarah Milik Ibn ‘Abdi al-Barr. Itulah sekilas perbedaan perkembangan hadits di timur dengan Andalus, walaupun ulama hadits banyak mentransfer ilmu hadits dari timur, tetapi kemudian merekapun memberi cahaya kembali ketimur, dengan hasil karya yang begitu besar, upaya-upaya yang dilakukan oleh ahli hadits untuk melepaskan diri dari kekuasaan fikih yang mendapat dukungan dari Negara teruama apa yang diperbuat oleh ketiga tokoh hadits yaitu Ibn Wadlah,Baqi Ibn Makhlad dan Qasim Ibn Asbag,  yang kemudian memunculkan Ibn Hazm , seorang tokoh yang handal dlm multidisiplin ilmu dan amat berpengaruh besar dalam perkembangan pemikiran setelahnya, dalam bidang sastra pun ia banyak mempengaruhi perkembangan sastra dieropa. Kemudian muncul pula Ibn Abdil Bar seorang tokoh hadits yang  paling masyhur diandalus,   bahkan dijadikan rujukan karyanya oleh tokoh-tokoh hadits di Masyriq, dan  mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hadits setelah masa ibn Hazm sampai keruntuhan Andalus ditangan ratu Isabel bersama raja ferdinan dan pengikutnya, kalau kita mengkaji tokoh hadits secara keseluruhan, penulis yakin makalah ini menghabiskan berpuluh-puluh halaman, karena andalus memiliki banyak sekali tokoh-tokoh yang berkompeten dalam hadits, di antaranya Abu Al-Walid Ibn Rusydi (kakeknya Ibn Rusydi seorang Filosof), dan lain-lain. Sehingga penulis mencukupkan pada tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hadis di Andalus.
             Atas usaha yang dilakukan oleh para tokoh hadits masa awal sampai Ibn Hazm, kemudian pada abad ke-6H. muncul ulama-ulama yang berusaha berijtihad dan mengembalikan permasalahan kepada al-Quran dan Sunnah dengan berusaha meninggalkan taqlid buta, bahkan pada masa Ya’qub Al-Mansur, Khalifah Al-Muwahidin yang ke-3, beliau mewajibkan sepuluh kitab hadis untuk dijadikan rujukan para ulama fiqh dalam beristinbath dalam mengambil hukum, yang merupakan induk kitab hadits, yaitu Kutub As-Sittah, Muwatha’ Imam Malik, Musnad Ibn Abi Syaibah, Sunan Ad-Daruquthni, dan hadits-hadis Thaharah Mahdi Ibn Tumart23 , Khalifah Muwahidin pertama, yang berjasa besar dalam merevolusi iklim intelekual diandalus, dari iklim Fiqh Oriented menuju iklim yang lebih terbuka, dan menjamin kebebasan dalam berfikir . menurut Dr.Husain Mu’nis bahwa Andalus mempunyai banyak Ulama dan Muhaditsin paling banyak dari berbagai periode diandalus pada pertengahan Abad ke-6 sampai pertengahan Abad ke-7, ini dilihat dari karangan yang ditulis oleh ulama tiap periode, Abad pertama sampai Abad 4 awal Ibn Fardli menulis dalam kitabnya Tarikh Ulama sebanyak 1766 Ulama, kemudian Ibn Basykual menulis dalam Silahnya sebanyak 1440 ulama dari Abad ke-5 sampai pertengahan Abad ke-6, dan Ibn al-Abar menghitung ulama dari Abad ke-6 pertengahan sampai pertengahan Abad ke-7 dalam kitab Takmil as-Silah nya sebanyak 2500 Ulama.    Itulah sekilas gambaran dari perkembangan hadits di Andalus, hadits memerlukan penafsiran-penafsiran baru di setiap masanya, sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama salaf,  semoga kita pun bisa mengikuti apa yang dilakukan oleh para ulama salaf, tidak hanya sekedar repetisi dari mereka,tetapi selalu menafsiri dengan tafsiran-tafsiran baru, yang sesuai dengan kondisi zaman, semoga bemanfaat........
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makalah ini disampaikan pada diskusi kajian kontemporer TC 20-10-2006
1.    Hadits ini tertulis dalam kitab Jami Bayan ‘Ilmi milik Ibn ‘Abdil Bar dan dalam kitab al-Muhadits al-Fashil karya al-Ramahurmuji, kemudian Rasyid Ridlo mendloifkannya (Lihat ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu karya Dr.Shabhi al-Shalih, Dar al-‘Ilmi wa al-Malayin (Beirut: 2002 M) hal.21
2.    Dr.Shabhi As-ShAlih ,‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, Dar al-‘Ilmi wa al-Malayin (Beirut: 2002) hal.
3.    Ibid., hal. 230
4.    Dr.Abid Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-Arabi hal.
5.    Mahmud Abu Rayah, Adlwa ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, Dar al-Ma’arif (Kairo, Cet. Ke-5) hal.22
6.    ibid., hal.174
7.    Laknauwi, Qawa’id fi Ulum al-Hadits, diedit oleh Abdu al-Fatah Abu Gudah, Dar al-Salam (kairo,1984 cet. Ke-5) hal.49 
8.    Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam, Dar al-Kutub l-‘Ilmiyah (Beirut, Vol. 3) hal. 41
9.    Ibn Al-Fardli, Tarikh al-‘Ulama wa al-Ruwat Li al-‘Ilmi Bi al-Andalus,vol. I, hal. 240
10. Ahmad Amin,Ibid
11. Dr Husein Mu’nis , Syuyukh Al-‘Ashri Fi Al-Andalus, Dar Al-Rosyad, (Kairo : 1997 M ) hal.53
12.  
13. Ibn Al-Fardli, Tarikh Al-‘Ulama wa Ar-Ruwat Lil ‘Ilmi Bil Andalus, hal.107 Vol. 1
14. Op.cit.. hal. 17 Vol. 2
15. Dr Husein Mu’nis,   Syuyukh Al-‘Ashri Fi Al-Andalus, (Dar al-Rasyad Kairo:2007)hal.53-54
16. Dr. Angel Gonjalez Palencia,  Tarikh Al-Fikr Al-Andalusi, Terjemah: Dr Husein Mu’nis,  Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah (Kairo, 2006)           hal.445
17. Ibid
18. Imam Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, , Dar Al-Fikr Al-‘Arabi (Kairo: 1996) Hal.232-233
19. Siyar A’lamu An-Nubula, Imam Adz-Dzahabi hal.75 jilid      11
20. Tarikh al-Maghrib al-Islamy fi Kitabat al-Masyariqah Baina al-Ihjam wa al-Ihtimam, Dr Mahmud ismail, yang dicetak dalam kumpulan dari berbagai kitab dalam buku Hiwaral-Masyariqah wa al-Magharibah yang diterbitkan majalah Kitab al-Árabiy (kuwait:2006) hal.49 Vol.I
21. As-Sunnah Al-Islamiyah Baina Itsbat Al-Fahimin wa Rafadla Al-Jahilin, Dr. Rauf Syalbi hal.214
22. At-Tasyayu’ Fi Al-Andalus, Dr Mahmud Ali Maki, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah (Kairo, 2002) hal.22
23. Tarikh A-Islam, Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Makabah Dar Al-Jael Beirut bekerjasama dengan Maktabah Al-Nahdlah Al-Misriyah (Cet. Ke-14,1996) hal.424

Tidak ada komentar: