INSAN TAQWA

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,INSAN TAQWA ,ADALAH MANUSIA YANG SELALU MELAKSANAKAN AJARAN ALLAH DAN ROSULNYA,PENGUMUMAN BAGI SIAPA SAJA YANG KESULITAN MENGHITUNG HARTA WARIS,TLP.081310999109/081284172971/0215977184 DENGAN BAPAK WAHDAN.SAG

Selasa, 21 Desember 2010

Teologi Pluralisme di Persimpangan Jalan

Visi dari perkembangan Islam di Indonesia sekarang ini kurang menggembirakan, seharusnya kita sudah ada ditahap yang lebih baik. Hubungan antaragama seharusnya memiliki sikap toleran, baik sesama umat Islam maupun kepada umat beragama lain. Sudah lebih dari 30 tahunan, para cendekiawan muslim kita sudah bekerja keras membangun suatu kemungkinan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang lebih toleran dan terbuka. Ternyata, setelah perkembangan reformasi bahwa arah radikalisme dalam agama semakin menguat, sejalan dengan keterbukaan dan kebebasan. Berikut petikan wawancara Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) dengan Budhy Munawar Rachman, Direktur Center for Spirituality and Leadership dan dosen Universitas Paramadina Jakarta, di kantornya, pada Kamis/08/09/05.: Belakangan ini gerakan anarkisme atasnama agama semakin marak di mana-mana. Bagaimana pandangan Anda melihat kasus ini terjadi? 



Budhy Munawar Rachman: Menurut saya, hal ini merupakan suatu visi dari perkembangan Islam sekarang yang kurang menggembirakan, seharusnya kita sudah ada ditahap yang lebih baik. Di mana hubungan antaragama, bahwa sikap toleransi dari umat Islam kepada umat Islam lainnya, dan dari umat Islam kepada umat beragama lain sudah punya kematangan. Karena sudah lebih dari 30 tahun, para cendekiawan kita sudah bekerja keras membangun suatu kemungkinan untuk mengembangkan suatu masyarakat Islam dan masyarakat Indonesia lebih luas, yang lebih toleran dan terbuka. Ini ternyata setelah perkembangan reformasi arah radikalisme dalam agama semakin menguat sejalan dengan era keterbukaan dan kebebasan, sehingga setiap orang bisa menggunakan kebebasannya itu.


Apa yang bisa kita pelajari dari hal ini? Adalah harus banyak belajar lagi hidup dengan orang yang mempunyai pandangan berbeda. Dalam hal ini, mestinya, pemerintah itu sangat menentukan, dan lebih tegas lagi terhadap tindakan-tindakan kriminal yang dibungkus dengan baju keagamaan. Yang seolah-olah, hal itu menjadi tindakan suci. Padahal, hal itu jelas-jelas melanggar kaidah-kaidah keagamaan, seperti mengenai ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan seterusnya.
VY: Secara tidak langsung, Anda menegaskan bahwa ukhuwah insaniyah dan ukhuwah islamiyah semakin tidak tampak dalam kehidupan kita? Kenapa demikian?
BMR: Karena masih ada suatu ketidaksiapan kita dalam membangun civil society. Ide mengenai civil society dan demokrasi bagi kita masih sangat baru. Dalam masa yang panjang baik Orde Lama mamupun Orde Baru, bahwa kita ada dalam suatu situasi di mana politik itu otoritarian. Di masa Orde Baru semua sikap atau gejala radikalisme itu tidak pernah dimungkinkan (baca: dihabiskan), sehingga ada istilah, ekstrim kanan dan ekstrim kiri yang dipakai oleh Soeharto. Di era keterbukaan (reformasi) ini tidak bisa dengan cara-cara otoriter, akan tetapi cara-caranya yang demokratis. Namun rupanya, belum ada kesiapan sebagian umat Islam untuk melihat perbedaan di dalam ranah keagamaan. Masalah-masalah internal orang Islam sendiri semakin mencuat. Kasus-kasus ini muncul, semuanya membawa pada perlunya kesadaran yang lebih mendalam mengenai apa sih artinya kebebasan beragama itu sendiri?
VY: Dewasa ini budaya dialog atau keterbukaan semakin sulit untuk ditemukan, yang ada justeru kekerasan. Bagaimana untuk menjembatani hal ini?
BMR: Bahwa eksklusivisme dalam beragama itu tidak memberi ruang untuk dialog. Dialog itu untuk �mereka� tidak ada gunanya. �Untuk apa dialog? Kebenaran itu sudah jelas ko�. Dialog itu hanya pada kelompok-kelompok yang menyadari, �bahwa pikiran saya itu benar, paham saya itu benar, keislaman saya itu benar, tapi jangan-jangan saya salah�. Jadi ada suatu relativisme internal, suatu skeptisisme yang sehat pada orang beragama ini. Orang seperti ini pasti tidak eksklusif. Paham ini kurang berkembang dalam Islam. Dan ini bisa kita lihat akar-akarnya pada ulama-ulama (baca: MUI) kita sendiri yang sebenarnya otoriter. Mereka tidak berusaha menunjukkan kearifan sebagai cendekia.
Ulama itu cendekia, lebih dari pada pengertian yang literal. Misalnya, pastur pada agama Katolik. Kearifan cendekia itu tidak dimiliki oleh para ulama kita. Mereka tidak menunjukkan kerendahan hati sebagai ulama yang membuat pertimbangan dengan berbagai macam cara berpikir. Perbedaan-perbedaan dalam pengambilan hukum itu selalu mungkin terjadi. Hal itu tidak mempertimbangkan. Oleh karena itu, sikap seperti ini sudah membawa pada perubahan, suatu pergeseran yang sangat mendasar dan berdampak besar sekali.
Ketika para ulama kita bergeser, yaitu sebagai pembawa otoritas pada yang otoriter. Kategori ini sangat membantu kita tentang ulama yang otoriter itu, dia tidak memberi keluasan atas wacana dalam suatu penumbuhan masyarakat civil society, ruang diskursus, ruang publik yang sangat penting. Fatwa itu adalah suatu kecenderungan yang memang baik, tapi harus sudah dengan bahan yang matang. Yakni apa dampaknya?. Ada suatu kelompok ulama memberi fatwa berpengaruh pada masyarakat. Akan tetapi, dia tidak melihat secara kondusif pada perkembangan keindonesiaan ini.
VY: Sikap toleransi terhadap kelompok lain yang selama ini diusung oleh kelompok Islam yang concern pada isu pluralisme, seperti Anda sering menyuarakan Islam pluralis. Bagaimana ketika berhadapan dengan kelompok intern muslim sendiri (baca: MUI) yang menentangnya?
BMR: Ya, ini berarti bahwa pekerjaan untuk pemikiran Islam sekarang ini berat. Pertama, penguasaan akan makna mengenai pluralisme itu sendiri. MUI itu menggunakan dua kata, pluralitas dan pluralisme. Suatu penggunaan yang tepat. Dan menurut mereka, pluralitas itu tidak ada masalah, karena pluralitas adalah suatu kenyataan. Akan tetapi, bahwa pluralisme itu masalah, karena pluralisme itu suatu pemikiran yang menganggap semua agama itu sama.
Menurut saya, pembedaan yang terlalu keras semacam itu diakibatkan oleh ketidak mengertian mengenai pluralisme itu sendiri. Bukan karena suatu ideologi. Misalnya, mau membuat suatu kecenderungan agama baru dengan menyatukan semua agama. Itu sering kali kesalahpahaman tentang makna pluralisme itu. Karena itu ditentang. Seperti dulu ada istilah yang sering ditentang oleh para agamawan atau teolog adalah istilah sinkretisme. Seolah-olah ada dua atau beberapa agama dilebur menjadi satu.
Sesungguhnya, istilah pluralisme itu tidak pertama kali berati itu, seperti MUI berikan tafsir. Kenapa pluralisme haram? Karena pluralisme menyamakan semua agama. Pluralisme itu pertama kali sebenarnya adalah suatu komitmen. Karena dalam kenyataan masyarakat itu plural (pluralitas), maka kita menghormati kepluralan, kemajemukan, dan keperbedaan itu. Jadi keperbedaannya yang ditekankan. Penghormatan terhadap perbedaan itu yang ditekankan. Sekaligus kita punya komitmen bersama bahwa dalam keberbedaan itu kita mau membangun sesuatu yang mempertemukan kita semua, yaitu civil society. Karena civil society itu masyarakat dari berbagai macam kelompok, ras, suku, agama, atau apa saja. Semuanya bisa hidup dalam suatu masyarakat. Yang di sebut civil society adalah warga negara. Cak Nur sering memberi makna sebagai masyarakat Madani, warga negara yang mempunyai suatu etos membangun peradaban. Nah itu yang menjadi tujuannya.
Kelompok-kelompok yang berbeda ini diharapkan bisa memberi kontribusi. Kontribusinya, itu bisa berupa nilai-nilai yang ada di keyakinan komunitasnya masing-masing dan bisa kerja bersama dari kelompok yang berbeda-beda itu. Dan diharapkan dari itu kemudian, bisa diciptakan suatu masyarakat yang saling menghormati dan membangun suatu peradaban.
Kata adab, mengang sangat bagus di sini, karena yang dibangun adalah masyarakat etik. Maksudnya, dengan paham pluralisme ini kita dibimbing pada suatu visi. Visi kita ke mana dalam membangun masyarakat. Tapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat untuk dipecahkan dengan cara dialog, diskursus, terbuka, saling menghormati dan bebas kekuasaan. Istilah yang menarik dari Habermas adalah, istilah diskursus bebas dari kekuasaan. Yang dengan hanya cara itulah, civil society dan demokrasi bisa dibangun, tanpa itu tidak mungkin.
Kalau MUI membuat fatwa tentang pluralisme, berarti dia sudah menutup kemungkinan diskursus yang bebas kekuasaan itu. Karena dengan atas nama otoritas, MUI sebagai Majelis Ulama punya otoritas tinggi, mereka menutup diskursus ini dengan mengatakan yang benar adalah ini. Mislanya, dikemukakan bahwa pluralisme itu hukumnya haram. Padahal, banyak pendapat mengenai pluralisme itu sendiri. Dan bagaimana pluralisme dalam keagamaan banyak pendapat. Sebuah perkembangan yang macam-macam, ini istilahnya teologi pluralisme. Yakni paham kita mengenai agama orang lain itu bagaimana. Mulai dari yang eksklusif sama sekali, sampai yang membuka diri sama sekali.
Lebih luasnya ada tiga peta; eksklusivisme, inklusivisme dan paralelisme. Paralelisme ini sangat dekat dengan pluralisme sebagaimana yang dicita-citakan pluralisme. Dalam pluralisme itu dikatakan, bahwa semua agama itu mempunyai keparalelan sama. Kesamaannya itu dalam tingkat-tingkat tertentu terutama tingkat abstrak selain ibadah. Ibadah mahdah misalnya, yaitu ibadah yang sudah sangat sepesifik bagian dari syari�ah. Jadi titik temunya itu pada tingkat yang lebih abstrak, yaitu etika. Titik temunya, apa yang disebutkan dengan kebaikan. Jelas semua agama mmempunyai pikiran yang kurang lebih sama mengenai, bagaimana menjadi manusia yang baik. Bisa titik temu pada tingkat keilahian. Akibat yang dilakukan masing-masing rasa ketuhanan atau iman. Maka dialog antar iman bisa lebih sharing untuk memperkaya sampai titik temu pada tingkat transenden agama-agama mengenai ketuhanan.
Dan pluralisme pertama kali bukan pada hal yang tinggi ini, hanya filosof-filosof tertentu dan beberapa sufi pada umumnya sampai pada tingkat transenden yang tinggi yang lebih filosofis. Kadang-kadang mereka memperaktekkannya dalam komunitas-komunitas, tapi biasanya lebih bersifat mistis. Pluralisme pertama kali bukan soal itu, tapi secara sosiologis bahwa pluralisme adalah penghormatan, pengakuan keberbedaan, dan kemungkinan untuk membangun bersama dari kelompok-kelompok yang berbeda.
VY: Problem di atas, mengingatkan kita pada analisa Cak Nur tahun 70-an, tentang keharusan pembaruan pemikiran Islam dan penyegaran kembali pemahaman keagamaan (lihat: Charles Kurzman (ed.) : 2001). Bagiamana pandangan Anda atas gagasan tersebut?
BMR: Kalau kita membaca kembali pemikiran Cak Nur tahun 70-an, sekitar 2 Januari 1970 lalu bahwa sebagaian umat Islam berubah. Ketika kita melihat sekarang masih relevan. Yaitu liberalisasi pikiran-pikiran Islam. Dan menurut saya, fatwa MUI tentang liberalisme, pluralisme, dan skularisme. Itu yang mereka tunjuk adalah pemikiran JIL. Karena JIL mengembangkan tiga itu. Toh secara luas pemikiran Islam itu membicarakan isu itu semua (liberalisme, pluralisme dan skularisme), minus isu gender yang tidak dibicarakan oleh MUI, mungkin MUI agak kelewat.
Perlu kita renungkan, apa yang dipikirkan Cak Nur tahun 70-an, sekarang masih tetap relevan. Artinya, suasana umat Islam itu, walaupun tidak secara politis, tidak lagi semenentang di masa lalu. Bagaimana konflik pemerintah Orde Baru dengan golongan-golongan tua Masyumi. Masyumi menginginkan rehabilitasi sementara para teknokrat di Orde Baru itu yang sebagian tentara masih merasa punya masalah dengan pemberontakan Masyumi. Ketegangan semacam itu membuat Cak Nur dan generasinya perlu dipolitisasi.
Nah kita sudah rileks, tidak setegang pada masa itu. Tapi isu utamanya mengenai pemikiran Islam yang konservatif, kita perlu melakukan liberalisasi pemikiran Islam. Atau dalam istilah saya, perlu meliberalkan pemikiran Cak Nur. Misalnya, ada suatu anekdot, bahwa Cak Nur sering kemukan mengenai �Guru dan Murid�. Cak Nur menyebut, �bahwa seorang murid kalau tidak lebih liberal dari gurunya itu biasa. Seperti para pengikut Ibnu Taimiyah tidak seliberal Ibnu Taimiyah. Lihat, para pengikut Ibnu Taimiyah yang jadi Wahabi sekarang ini atau kelompok modernis lainya. Jadi kalau mau jadi murid sejati harus mampu meliberalkan atau mengembangkan pemikiran Guru yang lebih luas lagi sesuai dengan konteks zamannya�. Jadi, kalau kita membaca paper Cak Nur tahun 70-an itu, harus kita membaca keterbukaan itu dengan lebih. Dan hal itu masih banyak yang kita lakukan dari ide-ide Cak Nur.
VY: Berdasarkan konteks sekarang, jangan-jangan gagasan pluralisme di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan? Bagimana tanggapan Anda?
BMR: Saya kira, pluralisme benar-benar berada di persimpangan jalan. Karena istilah pluralisme sendiri menjadi stigma. Kalangan LSM/NGO yang biasa kerja di bidang pluralisme, sekarang mengalami kebingungan. Apakah mereka masih akan menggunakan kata pluralisme? Atau tidak? Dalam kerja-kerja di komunitas pengembangan masyarakat. Karena kalau pakai pluralisme, hal ini adalah haram. Jadi masyarakat akan berpikir bahwa ini haram, kenapa diajarkan? Jadi ada resistensi dan penolakan.
Sama halnya, sepuluh atau lima belas tahun yang lalu, ada beberapa lembaga memperkenalkan isu gender di pesantren. Istilah gender itu menjadi sesuatu yang stigmatik. Sekarang orang boleh memikirkan istilah lain. Tapi itu menurut saya, lebih suka tetap bahwa pluralisme adalah istilah mapan, seperti demokrasi. Tiba-tiba ada fatwa mengenai haramnya demokrasi. Itu ada, kalau anda baca pikiran Al-Maudhudi, yang mengatakan, bahwa Islam tentang demokrasinya bukan seperti Barat, tapi Al-Maudhudi masih menggunakan kata demokrasi, namun tetap dia mengkritk keras arti demokrasi di Barat. Maka menurut saya, fatwa MUI itu sebenarnya, sejauhmana pluralisme itu diharamkan. Kita sebenarnya agak kesulitan karena kita sudah melakukan studi masalah pluralisme dalam Islam dan studi fikih lintas agama. Kita sudah lakukan dari beberapa tahun yang lalu tentang dasar-dasar teologis mengenai pluralisme sangat kuat dalam Islam, bahkan Islam ditegakkan atas pondasi pluralisme. Misalnya, berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah dikatakan, �bahwa satu kelompok jangan menghina kelompok lain, atau litaarafu supaya saling mengenal�. Jadi memang kata �pluralisme� tidak ada dalam al-Quran, tapi konsep mengenai itu ada dalam al-Qur�an. Dan kalau orang seperti Cak Nur dan banyak pemikir seperti dia, sangat yakin bahwa pluralisme dalam al-Qur�an itu sangat literal. Jadi tidak perlu penafsiran. Kalau Gender itu perlu penafsiran lebih rumit.
VY: Ketika pluralisme di persimpangan jalan, langkah-langkah praksis apa yang perlu dilakukan?
BMR: Kita harus terus memperkenalkan pemikiran ini. Hal ini semacam kita bersaing di pasar ide, tinggal lihat pembelinya, ada atau tidak. Kecenderungan masyarakat sedang mengarah pada konservatisme, tapi sangat jelas bahwa peradaban tidak bisa dibangun di atas konservatisme
VY: Apakah ada harapan untuk menumbuhkan gagasan pluralisme agama dalam konteks pemerintahan seperti sekarang ini?
BMR: Pertama, harus kembali pada suatu ide mengenai Indonesia. Hal ini sebenarnya, negara sejak awal dibangun sebagai negara yang beraneka ragam, mengenai motto: �Bhineka Tunggal Ika� dalam Pancasila. Yaitu melindungi semua pihak. Kalau perkembangan radikalisme ini semakin menguat dan menjadi ekstrim, maka akan terjadi adalah konflik antaragama. Dan sebenarnya kita sudah belajar dan banyak tahu bagaimana konflik antaragama di Maluku, Ambon, Poso dan juga konflik etnik di Kalimantan. Bisa tidak, kita belajar dari situ, terutama ini tugas pemerintah. Karena dari pengalaman banyak sekali bangsa dari persoalan ini. Kesimpulannya selalu sama, bahwa pemerintah itu tidak boleh turut campur dalam soal keagamaan.
VY: Maksudnya bagaimana? Bisa diberi contoh negara lain?
BMR: Ya, contohnya seperti Eropa, mereka mengambil keputusan skularisme (baca: yang difatwakan juga oleh MUI). Skularisme Eropa menjadikan peranan agama sama sekali tidak berperan, bahkan orang Eropa juga cenderung untuk meninggalkan agama.
Contoh lain berbeda dengan Eropa adalah Amerika. Amerika menerapkan paham negara tidak boleh turut campur kepada perkembangan agama, tetapi masyarakat boleh mengembangkan paham keagamaannya masing-masing. Perkembangan agama seperti apa saja dibolehkan di Amerika, asal tidak mengganggu atau tidak melanggar kebebasan dari kelompok masyarakat yang lain.
Contoh sederhana, tidak suka dengan kelompok lain, itu tidak apa-apa, masih dalam ide tidak apa-apa. Tapi kalu sudah mulai muncul reaksi, kemudian seperti kelompok-kelompok radikal Islam itu datang dan menutup kantor/tempat ibadah. Hal itu adalah tindakan kriminal. Polisi punya hak untuk menangkapnya dan persoalan di bawa ke pengadilan. Jadi di Amerika itu yang terjadi bahwa agama sebagai perekat bangsa.
Indonesia itu mirip dekat ke Amerika. Tidak perlu ada kekhawatiran mengenai skularisme. Istilah skularisme itu istilah yang tidak monolitik, bahwa itu akan membawa orang pada anti agama. Kalau contoh Eropa ya, tapi kalau contoh Amerika tidak. Amerika sekarang negara yang paling Kristen. Anda kalau datang waktu Diana L. Eck, penulis buku A New Religious America, memberi ceramah dua minggu yang lalu (25/08/05) di Wisma Antara Jakarta. Dia mengatakan; �Amerika sekarang dalam proses transisi dari negeri Kristen menjadi negeri yang plural, karena semua agama berkembang pesat sekali menikmati kebebasan, agama Hindu, agama Budha, bahkan agama-agama yang di tempat aslinya tidak bisa berkembang, seperti Baha�I, Ahmadiyah, atau Jainisme di India dan seterusnya, yang berkembang jumlah penganutnya hanya jutaan atau puluhan juta orang. Di Amerika, mereka bisa menemukan jati dirinya sebagai bangsa Amerika�.
VY: Bagaimana dengan konteks Indonesia, bahwa Islam sebagai agama mayoritas?
BMR: Sekarang ini orang Islam harus memikirkan bahwa Indonesia itu bukan hanya Islam, tapi ada ke-Indonesia-an. Di situ yang meliputi agama lain. Jadi ini proses panjang yang sering dikemukakan bahwa Indonesia dalam peroses menjadi. Mudah-mudahan kita tidak perlu belajar seperti di Eropa, keberbedaan itu dipecahkan dengan perang antara golongan Katolik dan Protestan. Keadaan itu mengakibatkan banyak orang Eropa pindah ke Amerika, dan di sana boleh mendirikan Kristen apa saja.
Sekarang waktunya kita memikirkan sungguh-sungguh, bahwa Islam di Indonesia itu seperti apa?. Kita menyebut Islam itu sebagai rahmatan lilalamin, mana rahmat? Nah di situ, pluralismre penting, karena wajah Islam yang langsung di tangkap oleh kelompok-kelompok non-muslim itu bukan wajah rahmatan lilalamin, tetapi Islam radikal, tidak toleran, yang mengancam eksistensi mereka. Wajah Islam yang sebenarnya tidak kita kehendaki.
Tantangan kita ke depan adalah peninggalan dari Cak Nur, yang harus sungguh-sungguh menyadari bahwa Islam itu seharusnya agama yang mengayomi. Hal ini sangat menentukan, apakah Islam itu nantinya jadi agama yang menarik? Atau tidak menarik? Dan di Eropa, kemudian agama tidak menarik, Gereja masih ada di sana, orang masih berurusan dengan Gereja, orang masih berurusan dengan agama kalau dia lahir di baptis, menikah, sakramen, dan nanti kalau meninggal suapaya masuk sorga. Jadi, orang berhubungan dengan agama lebih administratif, sedangkan hidup sehari-hari tidak menyandarkan pada agama. Hal ini sangat kuat kemungkinan ke sana, dan kita sudah mengalaminya kecil-kecilan, ketika Islam mimpi punya misionaris mesianistik kepada Cokroaminoto. Paham keislaman Cokroaminoto tidak bisa memenuhi pemahaman keislamannya, sehingga ada SI Putih dan SI Merah. Marxisme jauh lebih menarik. Kemudian bagaimana dengan Islam Indonesia ke depan? Tanggungjawab kita bersama untuk meneguhkan kembali wawasan keagamaan dan kebangsaan yang moderat. []

Tidak ada komentar: